Friday 16 September 2011

Multiple Intelligence, Howard Gardner

Howard Gardner mengatakan bahwa terdapat tujuh kategori dimana masing-masing orang memiliki kelebihan atau kekurangan pada kategori tersebut. Dia menyebut pembagian ini sebagai multiple intelligences. Gardner melakukan riset lanjutan pada hasil penelitian Alfred Bine yang diselesaikan di Prancis pada tahun 1900, di Universitas Hardvard.

Hasil dari penelitian Binet, menjadi dasar pada pembentukan sebuah tes intelegensi. IQ (Intellegence Quotient) merupakan hasil dari pengukuran oleh Binet.
Tes Intelegensi model ini menjadi dasar pengembangan salah satu tes yang cukup populer di Amerika Serikat, Scholastic Aptitude Test (SAT), yang digunakan pada sebagian besar peminat masuk perguruan tinggi. Di Indonesia, digunakan SNM-PTN UMPTN/SPMB sebagai ujian masuk.

SAT dan Tes Binet menghasilkan dua tipe kecerdasan, verbal dan matematika. Jika seseorang bisa mengerjakan keduanya dengan baik, dia akan dianggap ‘pintar’ dan mempunyai peluang lebih besar untuk masuk perguruan tinggi. Namun, bagaimana jika yang tidak?

Gardner menawarkan bahwa ada kecerdasan lain selain dua tersebut. Tujuan dari Gardner adalah agar kita tidak terpaku pada dua hal tersebut. Sehingga, kita bisa membantu perkembangan si kecil dengan lebih baik lagi. Selain itu, kita bisa mencari aktivitas yang tepat agar si kecil berkembang secara optimal.

Berikut Multiple Intelligences yang diajukan Howard Gardner :

1. Kinestetik, menggunakan badan untuk menyelesaikan masalah, mengungkapkan ide serta perasaan. Aktor, atlit, penari, pematung, dan mekanik memiliki kecerdasan kinestetik yang lebih kuat.
2. Interpersonal, memahami mood, perasaan dan memiliki kebutuhan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya, salesman, guru, konselor, dan orang-orang yang kita panggil saat kita butuh.
3. Intrapersonal, mampu memahami diri sendiri dengan perkembangan diri yang baik dan menggunakannya untuk membawa diri kearah yang lebih baik.
4. Linguistik, memiliki kelebihan dalam penggunaan kata-kata. Biasa dikaitkan dengan pencerita, politisi, komedian, dan penulis.
5. Matematika-Logis, memahami dan mampu menggunakan angka-angka secara efektif. Serta mampu menjabarkan permasalahan dengan baik. Peneliti, programmer, dan akuntan ada disini.
6. Musikal, suka berhubungan dengan musik. Ini terdapat pada banyak bidang seperti, komposer, kritikus, dan pecinta musik.
7. Spasial, memiliki kemampuan visual spasial (pemahaman tentang ruang) yang akurat, sehingga mampu bekerja secara efektif.

Semoga, setelah kita mengerti, kita bisa mendidik si kecil dengan lebih baik dan tanpa paksaan.

Victor Emil Frankl dan Logoterapi (2)

Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa depan, punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.

Frankl menamakan terapinya dengan logoterapi, dari kata Yunani, “logos”, yang berarti pelajaran, kata, ruh, Tuhan atau makna. Frankl menekankan pada makna sebagai pegertian logos. Bila Freud dan Addler menekankan pada kehendak pada kesenangan sebagai sumber dorongan. Maka, Frankl menekankan kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi.

Selain itu, Frankl juga menggunakan noös yang berarti jiwa/pikiran. Bila psikoanalisis terfokus pada psikodinamik, yakni manusia dianggap berusaha mengatasi dan mengurangi ketegangan psikologis. Namun, Frankl menyatakan seharusnya lebih mementingkan noödinamik, yaitu ketegangan menjadi unsur penting bagi keseimbangan dan kesehatan jiwa. Bagaimana pun, orang menginginkan adanya ketegangan ketika mereka berusaha mencapai tujuan.

Kerangka berpikir teori kepribadian model logoterapi dan dinamika kepribadiannya dapat digambarkan sebagai berikut.

Pertama, setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam pandangan logoterapi, kebahagiaan itu tidak datang begitu saja, tetapi merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life) dan ganjaran (reward) dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness).

Kedua, jika mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (meaningless). Kondisi ini apabila tidak teratasi dapat mengakibatkan gangguan neurosis (noogenik neurosis), mengembangkan karakter totaliter (totalitarianism) dan konformis (conformism).

Ketiga, Frankl menentang pendirian dalam psikologi dan psikoterapi bahwa manusia ditentukan oleh kondisi biologis, konflik-konflik masa kanak-kanak, atau kekuatan lain dari luar. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada dalam batas-batas tertentu. Manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian.

Keempat, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Dengan demikian, kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah lari dari persoalan yang sebenarnya harus dihadapi.

Kelima, dalam berperilaku, manusia berusaha mengarahkan dirinya sendiri pada sesuatu yang ingin dicapainya, yaitu makna. Keinginan akan makna inilah yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Namun, Frankl tidak sependapat dengan prinsip determinisme dan berkeyakinan bahwa manusia dalam berperilaku terdorong mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan dan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya.

Victor Emil Frankl dan Logoterapi (1)

Victor Emil Frankl, M.D., Ph.D., (1905 – 1997) adalah seorang dokter ahli penyakit saraf (neurolog) dan ahli kejiwaan (psikiater). Berkebangsaan Austria dan merupakan salah satu korban Holocaust yang selamat. Holocaust dikenal sebagai peristiwa pembantaian massal oleh Adolf Hitler yang bertujuan untuk memusnahkan bangsa Yahudi.

Pada tahun 1925, setelah lulus dari sekolah menengah dan sedang kuliah kedokteran, Frankl bertemu langsung dengan Freud. Namun, Frankl lebih tertarik dengan teori Alfred Adler. Setahun kemudian Frankl menerbitkan sebuah tulisan berjudul Psychotheraphy and Weltanschauung. Tahun berikutnya, Frankl menggunakan istilah logoterapi untuk pertama kali dalam kuliah-kuliah umum yang dia berikan.

Frankl dalam karyanya mengemukakan bahwa hal yang paling berarti adalah nilai dan arti kehidupan. Dalam kamp penyiksaannya ia belajar bahwa “manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental: kebebasan untuk memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memilih cara kita sendiri”. Manusia bisa bebas menentukan hasil eksistensi terahirnya yaitu kebebasan spiritual.

Tahun 1940, Frankl ditunjuk sebagai kepala bagian neurologist di Rothschild Hospital, rumah sakit untuk orang Yahudi di Wina. Ia kerap melakukan diagnosa yang salah agar pasiennya tidak disuntik mati (euthanasia).

Tahun 1942, Frankl menikah tapi pada bulan September di tahun yang sama, Frankl, ayah, ibu, serta saudaranya ditahan dan dibawa ke kamp konsentrasi.Ayahnya meninggal karena kelaparan dan ibu serta saudaranya menginggal di Auschwitz tahun 1944.

Bulan April 1945, Frankl bebas dan dia pulang ke Wina. Setelah dia pulang, istrinya meninggal. Akhirnya, dia menulis ulang The Doctor and the Soul yang sempat direbut dan dibakar oleh tentara Nazi. 9 hari setelah penerbitan buku tersebut, Frankl selesai menulis buku Man’s Search for Meaning.