Wednesday 22 June 2011

Recall Memory dalam Psikologi

Ingatan merupakan alih bahasa dari memory. Maka dari itu disamping ada yang menggunakan ingatan ada pula yang menggunakan istilah memori sesuai dengan ucapan dari memory. Pada umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan antara pengalaman dengan masa lalu. Proses manusia memunculkan kembali tiap kejadian pengalaman pada masa lalunya, membutuhkan kemampuan mengingat kembali yang baik. Dengan adanya kemampuan mengingat pada manusia,maka ini menunjukan bahwa manusia mampu menerima, menyimpan dan menimbulkan kembali pengalaman-pengalaman yang dialaminya (Walgito 2004). Menimbulkan kembali pengalaman-pengalaman yang pernah dialami, sama halnya dengan memunculkan kembali sesuatu yang pernah terjadi dan tersimpan dalam ingatan.

Memori atau ingatan bukan merupakan suatu objek seperti mata, tangan dan organ tubuh lainya. De Porter & Hernacki (dalam Afiatin 2001) menjelaskan bahwa memori atau ingatan adalah suatu kemampuan untuk mengingat apa yang telah diketahui. Seseorang dapat mengingat sesuatu pengalaman yang telah terjadi atau pengetahuan yang telah dipelajari pada masa lalu. Kegiatan seseorang untuk memunculkan kembali atau mengingat kembali pengetahuan yang dipelajarinya pada masa lalu dalam ilmu psikologi disebut recall memory.

Untuk mengetahui bagaimana proses mengingat kembali itu terjadi maka perlu diketahui bagaimana prosesnya manusia bisa menyimpan informasi dalam ingatanya. Memori atau ingatan merupakan fungsi yang terlibat dalam mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu. Proses ingatan ini diukur dengan pengingatan (recall), reproduksi, pengenalan (recognition) dan belajar-ulang (relearning) (Chaplin,2005).

Selanjutnya menurut Richard Atkinson dan Richard Shiffrin (dalam Matlin, 1998) memori adalah bagian penting dari semua proses kognitif, karena informasi dapat disimpan hingga sewaktu-waktu digunakan. Dalam proses mengingat informasi ada 3 tahapan yaitu memasukkan informasi (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat (retrieval stage). Lebih lanjut dijelaskan dengan menggunakan contoh, misalnya : dalam sebuah pesta kita berkenalan dengan seseorang yang bernama Mira. Pagi harinya kita bertemu lagi dan masih mengenalinya. Kita memasukkan nama Mira ke dalam ingatan. Tahapan ini disebut dengan encoding dimana kita mengubah fenomena fisik (gelombang-gelombang suara) yang sesuai dengan nama yang diucapkan (Mira) menjadi kode-kode yang diterima ingatan, dan kita menyimpanya kedalam ingatan kita. Kita mempertahankan ingatan dari saat pesta hingga pagi hari merupakan (storage). Dan kita masih bisa mendapatkan dan mengenali bahwa orang tersebut adalah Mira, merupakan tahapan mengingat kembali (retrieval stage) sedangkan menurut Walgito (2004) mengingat kembali termasuk dari salah cara untuk menimbulkan kembali ingatan yang disebut dengan to recall.

Pendapat Drever (dalam Walgito 2004) menjelaskan; memori menurut pengertian secara umum dan teoritis adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh makhluk hidup, pengalaman berguna apa yang kita lupakan yang mana mempengaruhi perilaku dan pengalaman yang akan datang, yang mana ingatan itu bukan hanya meliputi recall (mengingat) dan recognition (mengenali) atau apa yang disebut dengan menimbulkan kembali ingatan. Lebih jelasnya Walgito (2004) menjelaskan bahwa ada dua cara menimbulkan kembali informasi dalam ingatan, yaitu dapat ditempuh dengan (1) mengingat kembali (to recall) dan (2) mengenal kembali (to recognize). Jadi recall memory adalah kemampuan menimbulkan ingatan kembali dengan cara mengingat kembali.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa recall memory adalah kegiatan individu untuk mengingat kembali informasi yang telah disimpan di dalam ingatannya.

1. Jenis-jenis Memory
Proses merecall memory atau mengingat kembali sebuah informasi terkait erat dengan jenis memory atau ingatan yang akna dimunculkan kembali. Dalam ilmu psikologi, memory atau ingatan menjadi pokok bahasan. Ada beberapa tokoh yang membahas mengenai memory atau ingatan itu sendiri. Salah satunya adalah :

Richard Atkinson dan Richard Shiffrin (dalam Matlin, 1998) mengajukan konsep memori yang dibedakan dalam tiga sistem penyimpanan informasi, yaitu memori sensori (sensory memory), memori jangka pendek (short term memory), dan memori jangka panjang (long term memory).

Etseem (dalam Ismoyo 2006) menjelaskan lebih lanjut mengenai memori sensori. Memori sensori adalah suatu sistem memori yang dirancang untuk menyimpan informasi yang diterima dari sel-sel reseptor dalam waktu yang amat pendek. Memori sensori mencatat informasi atau stimulus yang masuk melalui salah satu atau kombinasi dari panca indera yaitu secara visual melalui mata, pendengaran melalui telinga, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, dan rabaan melalui kulit.
Pengertian memori jangka pendek adalah salah satu proses penyimpanan informasi yang bersifat sementara. Informasi yang disimpan dalam memori jangka pendek berisi informasi yang terpilih dari memori sensori. Kapasitas memori jangka pendek. Jumlah informasi yang tersimpan dalam memori jangka pendek lebih kecil bila dibandingkan dengan yang tersimpan dalam memori jangka panjang Etseem (dalam Ismoyo 2006).
Pendapat senada juga dikemukakan oleh, Yacobs (dalam Solso 1995) yang mengadakan penelitian dengan menyebutkan beberapa angka pada pendengar tanpa pola urutan tertentu, kemudian pendengar disuruh menulis kembali kata-kata tersebut, ternyata yang dapat diingat hanya tujuh angka. Dengan menggunakan tanda titik angka, kata dan lainnya menunjukkan hasil yang sama yakni memori jangka pendek terbatas hanya 7 +/- 2 unit.

Davidoff (dalam Ismoyo,2006) menjelaskan bahwa memori jangka panjang (long term memory). diartikan sebagai tempat penyimpanan informasi yang bersifat permanen dibandingkan memori jangka pendek. Memori jangka panjang disebut juga sebagai “gudang” atau tempat penyimpanan informasi yang kapasitasnya tidak terbatas. Memori jangka panjang memungkinkan manusia mengingat kembali informasi masa lalu dan menggunakan informasi yang ada untuk mengerti apa yang terjadi sekarang. Misalnya, nama individu sendiri, rasa jagung rebus, lagu semasa kanak-kanak, dan abjad a-z merupakan bahan yang tersimpan dalam penyimpanan memori jangka panjang.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat diambil kesimpulan bawa jenis-jenis memori antara lain adalah memori sensori (sensory memory), memori jangka pendek (short term memory), dan memori jangka panjang (long term memory).

Tahap-tahap Memory (Ingatan)
Sebelum seseorang mengingat suatu informasi atau sebuah kejadian dimasa lalu, ternyata ada beberapa tahapan yang harus dilalui ingatan tersebut untuk bisa muncul kembali.
Atkinson (1983) berpendapat bahwa, para ahli psikologi membagi tiga tahapan ingatan, yaitu:
1. Memasukan pesan dalam ingatan (encoding).
2. Penyimpanan ingatan (storage).
3. Mengingat kembali(retrieval).

Walgito (2004), yang menjelaskan bahwa ada tiga tahapan mengingat, yaitu mulai dari memasukkan informasi (learning), menyimpan (retention), menimbulkan kembali (remembering). Lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut:
a) Memasukkan (learning)
Cara memperoleh ingatan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Secara sengaja ; bahwa sesorang dengan sengaja memasukkan informasi, pengetahuan, pengalaman-pengalamanya kedalam ingatannya.
2. Secara tidak disengaja ; bahwa sesorang secara tidak sengaja memasukkan pengetahuan, pengalaman dan informasi ke dalam ingatannya. Misalnya: jika gelas kaca terjatuh maka akan pecah. Informasi ini disimpan sebagai pengertian-pengertian.

b) Menyimpan
Tahapan kedua dari ingatan adalah penyimpanan atau (retention) apa yang telah dipelajari. Apa yang telah dipelajari biasanya akan tersimpan dalam bentuk jejak-jejak (traces) dan bisa ditimbulkan kembali. Jejak-jejak tersebut biasa juga disebut dengan memory traces. Walaupun disimpan namun jika tidak sering digunakan maka memory traces tersebut bisa sulit untuk ditimbulakn kembali bahkan juga hilang, dan ini yang disebut dengan kelupaan.

c) Menimbulkan kembali
Menimbulkan kembali ingatan yang sudash disimpan dapat ditempuh dengan (1) mengingat kembali (to recall) dan mengenal kembali (to recognize).
Dari pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga tahap mengingat, yaitu tahap pemasukan informasi dan pesan-pesan kedalam ingatan , tahap penyimpanan ingatan dan tahap mengingat kembali.

Gangguan Belajar

Gangguan belajar adalah defisiensi pada kemampuan belajar sepesifik dalam konteks

Tipe-tipe Gangguan Belajar
- Gangguan Matematika
Gangguan Metematika menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan aritmatika.
- Gangguan Menulis
Gangguan Menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampaun menulis
- Gangguan Membaca ( disleksia )
Gangguan Membaca –disleksia- mengacu pada anak-anak yang memiliki perkembangan ketrampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan.
Perspektif Teoritis

Penyebab gangguan belajar cenderung terfokus pada masalah-masalah kognitif-perseptual dan kemungkinan faktor-faktor neorologis yang mendasarinya. Banyak anak dengan gangguan belajar memiliki masalah dengan persepsi visual dan auditori.

Intervensi gangguan belajar
Intervensi-intervensi untuk gangguan belajar umumnya menggunakan perspektif berikut (Lyon & Moats,1988)
1. Model Psikoedukasi
Menekankan pada kekuatan-kekuatan dan preferensi-preferensi anak daripada usaha untuk mengoreksi definisi yuang diduga mendasarinya.
2. Model Behavioral
Mengasumsikan bahwa belajar akademik dibangun diatas hierarki ketrampilan-ketrampilan dasar, atau “perilaku yang memampukan (enabling behaviours).”
3. Model Medis
Mengasumsikan bahwa gangguan belajar merupakan simtom-simtom dari defisiensi dalam pengolahan kognitif yang memiliki dasar biologis.
4. Model neuropsikologi
Berasal dari model psikoedukasi dan medis, diasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan deficit dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis (model medis).
5. Model lingguistik
Berfokus pada defisiensi dasar dalam bahasa anak, seperti kegagalan untuk mengenali bagaimana suara-suara dan kata-kata saling dikaitkan untuk menciptakan arti, yang akan menimbulkan masalah dalam membaca, mengeja, dan menemukan kata-kata untuk mengekspresikan diri mereka.
6. Model kognitif
Berfokus pada bagaimana anak-anak mengatur pemikiran-pemikiran mereka ketika mereka balajar materi-materi akademik.

Gangguan Perkembangan Pervasif

Anak-anak dengan gangguan perkembangan pervasif (pervasif developmental disorder/PDDs) menunjukan hendaknya perilaku atau fungsi pada berbagai area perkembangan. Gangguan ini umumnya menjadi tampak nyata pada tahun-tahun pertama kehidupan dan sering kali dihubungkan dengan retardasi mental. Gangguan ini umumnya diklasifikasikan sebagai bentuk psikosis pada edisi awal DSM. Keanehan dalam berkomunikasi dan perilaku motorik yang stereotip. Type mayor dari gangguan perkembangan pervasif,
- Fokus kita disini nanti adalah Gangguan Autis (Autisme).
- Gangguan Asperger (Asperger’s disorder) ditunjukan dengan adanya deficit pada

interaksi sosial dan perilaku stereotip. Gangguan Asperger tidak melibatkan deficit yang signifikan pada kemampuan bahasa dan kognitif (APA,2000;Szatmari dkk 2000).
Type gangguan perkembangan pervasif yang lebih jarang muncul, mencakup
- Gangguan Rett (Rett’s disorder), gangguan yang dilaporkan hanya terjadi pada wanita, dan
- Gangguan Disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder), kondisi yang jarang ada, biasanya muncul pada laki-laki
Autisme ( autism), atau gangguan austistik, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup.
Autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self.” Pertamakali di gunakan tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berfikir autistic adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Seolah-olah meeka hidup dalam dunia mereka sendiri, menutup diri dari setiap masukan dunia luar.

Ciri-ciri Autisme
ciri yang paling menonjol adalah
- kesendirian yang amat sangat
ciri lain mencakup masalah
- bahasa,( ex: ekolalia-mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton )
- komunikasi,
- dan perilaku ritualistic atau stereotip

ciri utama dari autisme adalah :
- gerakan stereotype berulang yang tidak memiliki tujuan--berulang-ulang memutar benda, menepukkan tangan, berayun kedepan dank e belakang dengan lengan memeluk kaki--
- sebagian anak menyakiti diri sendiri.

Ciri lain dari autisme adalah :
- menolak perubahan pada lingkungan
Perspektif Teoritis penyebab autis belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas otak

Psikolog O. Ivar Lovaas dkk (1979) menawarkan perspektif belajar-kognitif, mereka menyatakan bahwa anak-anak autistic memiliki deficit perceptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu. Akibatnya mereka lambat belajar secara classical conditioning (asosiasi terhadap stimuli). Perspective teori belajar, anak-anak menjadi terikat dengan pengasuh utama mereka karena diasosiasikan dengan reinforcer primer seperti makanan dan pelukan.
Para teoritikus Kognitif : anak-anak autistic tampaknya mengalami kesulitan untuk mengitegrasikan informasi dari berbagai indra ( Rutter,1983). Pada waktu tertentu mereka tampakterlalu sensitive pada rangsangan, lain waktu menjadi tidak sensitive.
Yang menyebabkan digisit perceptual dan kognitif ini hendaknya yang dihubungkan dengan autistic, termasuk retardasi mental, deficit bahasa, perilaku motorik yang aneh, menunjukan adanya gangguan neurologist yang melibatkan suatu bentuk kerusakan otak atau ketidakseimbangan kimiawi saraf dalam otak (Perry dkk,2001; stokstad,2001). Namun para peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi penyebab autisme. Pada akhirnya, penyebab autisme tetap menjadi misteri.

Penanganan, walaupun autisme belum dapat disembuhkan, belajar untuk mengurangi perilaku yang menggangu dan meningkatkan ketrampilan belajar serta komunikasi pada anak-anak autistic.
1. Pengembangan Perilaku Baru
perilaku-perilaku baru ini dipertahankan dengan adanya reinforcer,sehingga penting untuk mengajarkan kepada anak-anak ini, yang sering merespons kepada orang lainseperti mereka berhadapan dengan benda mati, untuk menerima orang lain seperti reinforcer. Seseorang dapat dijadikan reinforcer dengan cara memasangkan pujian reinforcer primer seperti makanan.
2. Pendekatan Biologis
pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada penanganan autisme.hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukan obat-obatan yang meningkatkan aktivitas serotonim seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dan perilaku repetitive serta agresivitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam hubungan social dan penggunaan bahasa pada individu autistic deasa (McDoufle dkk, 1996).

Teori Psikologi: Prestasi Kerja

Prestasi kerja merupakan salah satu kajian ilmu psikologi, karena itu situs belajar psikologi sedikit berbagi mengenai teori psikologi: Prestasi Kerja. Prestasi kerja sendiri merupakan ukuran keberhasilan atau kesuksesan seseorang karyawan. Karyawan itu sendiri dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan selalu ingin mengetahui hasilnya baik atau buruk, dan ada kemajuan atau kemunduran. Stress tidaknya seorang karyawan dalam bekerja akan dapat diketahui apabila perusahaan atau orang yang bersangkutan menerapkan system penilaian prestai kerja. Jadi prestasi kerja merupakan hal yang penting bagi perusahaan atau organisasi, serta dari pihak karyawan sendiri.

Rao ( 1986) mengatakan bahwa prestasi suatu perusahaan tidak dapat dilepaskan dari prestasi kerja setiap individu yang terlibat didalamnya. Hal ini berarti bahwa tercapainya tujuan yang telah diterapkan oleh perusahaan banyak trgantung pada kerja karyawannya.

Prestasi kerja berkaitan dengan tujuan dalam arti sebagai suatu hasil dari perilaku kerja seseorang. Prestasi diberikan batasan sebagai hasil dari pola dua tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan standar yang ditetapkan, baik kualitas maupun kuantitas (Anoraga,1992)

Definisi prestasi kerja menurut Baskorowati (1987) adalah hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, menurut criteria yang berlaku untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya Sudita (1989) menyatakan prestasi kerja erat kaitannya dengan pengembangan potensi yang ada pada manusia menjadi usaha yang efektif untuk mencapai tujuan. Pengembangan sumberdaya manusia bertujuan untuk menjadikan manusia lebih produktif, kreatif dan professional.

Tingkat tinggi rendahnya hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan dalam pekerjaannya sering dinamakan prestasi kerja. Secara lebih jelas yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh tenaga kerja atau karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. (Handoko,1987)). Jadi prestasi kerja merupakan hasil kerja dari suatu pelaksanaan pekerjaan yang dibebankan kepada karyawan tersebut. Ghiselli (dalam Munandar,1988) menyatakan yang dimaksud prestasi kerja adalah hgasil pelaksanaan kerja yaitu sejauh mana karyawan dapat berhasil dalam malaksanakan pekerjaanya atau sejauh mana kamajuan yang dicapai dalam bekarja.

Kastartini (1971), prestasi kerja adalah kesanggupan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan, bermutu dan tepat mengenai sasarannya. Untuk menilai mutu tidaknya suatu hasil pekerjaan dapat dilihat dari jumlah kekurangan kesalahan dari hasil kerja.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi kerja kemauan atau hasil kerja yang dapat dicapai seseorang dalam melaksanakan pekerjaan tertentu dan dalam jangka tertentu bertdasarkan criteria atau patokan yang berlaku untuk jenis pekerjaan tertentu.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Kerja
setiap indifidu dilahirkan dengan sejumlah keburukan, tujuan, keinginan dan dorongan dasar. Manusia mengalami perubahan diri berdaarkan pada pengalaman,latihan, belajar, serta interaksi dengan lingkungan kebutuhan-kebutuhan manusiabaik fisik, social dan psikologis sebagian besar dapat dipengaruhi dalam dunia kerja yang dihadapkan dengan pepentingan, sasaran dan tujuan perusahaan. Hal ini akan mempengaruhi terhadap perilaku kerja.

Harapan bagi setiap orang adalah sukses atau berhasil dalam melaksanakan setiap aktifitas yang dilakukan belum tentu memuaskan, hal ini disebabkan kesuksesan atau keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh beberapa factor. Mangkunegara (1984) bahwa factor-faktor yang dapat mempengaruhi seorang dalam meraih kesuksesan disamping factor kepercayaan pada diri sendiri, factor kecerdasan juga sangat berperan. As’ad (1992) factor-faktor yang dapat menyebabkan perbedaan dalam meraih keberhasilan atau prestasi kerja adalah adanya perbedaan cirri-ciri personal kepribadian, pengetahuan mengenai pekerjaan, motivasi interest dan lain sebagainya.

Kartini (1981) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah yang menyangkut masalah perhatian dari atasan, keinginan untuk berprestasi aktif dalam pencapaian tujuan perusahaan serta dalam bekerja dalam satu tim yang kompak. Manullang (1984) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah keadaan fisiknya, seperti ketajaman penglihatan, kekuatan fisik dan lain-lain yang berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi kerja menurut Kasijan (1982) ada dua golongan. Yaitu 1) factor yang ada pada diri karyawan yang meliputi keadaan fisik dan kesehatan, kepribadian, bakat, motivasi dan interest. 2) faktor yang berasal dari luar diri karyawan seperti keadaan alam, iklim, pendapat-pendapat baru atau system perundang-undangan.

Berdasarkan uraian dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi kerja antara lain faktor personal terdiri dari kepercayaan diri sendiri, faktor kecerdasan, keadaan fisik dan kesehatan, kepribadian, bakat, dan interest, kemampuan, ketrampilan, persepsi terhadap peran dan faktor sikap, serta faktor motivasi dan untuk faktor non-personal terdiri dari keadaan alam, iklim, pendapat-pendapat baru atau system perundang-undangan.


Tujuan Penilaian Prestasi Kerja
pada dasarnya penilaian prestasi kerja bertujuan mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang diharapkan dari setiap karyawan. Ghiselli & Brown (dalam As’ad,1991) mengatakan bahwa penilaian atau pengukuran hasil kerja sangat penting itu bertujuan untuk :
a. untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh mana karyawan dapat sukses dalam melaksanakan pekerjaanya.
b. Untuk melihat seberapa jauh kemajaun dalam latihan.
c. Sebagai data yang digunakan untuk bahan pertimbangan apabila ada promosi bagi karyawan yang bersangkutan.

Haris (1984) mengatakan baha pada dasarnya penilaian prestasi kerja ini bertujuan mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang diharapkan dari setiap karyawan. Beberapa ahli yang berkecimpung pada bidang perilaku manusia dalam organisasi, telah merumuskan beberapa tujuan. Adapun tujuan penilaian prestasi kerja secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut :
A. Tujuan Administrasi. Hasil yang diperoleh dari program penilaian prestasi kerja dapat digunakan untuk keperluan administrasi peruasahaan. Penilaian prestasi kerja merupakan komponen yang penting dalam proses administrasi karyawan. Data-data yang digunakan dari penilaian prestasi kerja dapat digunakan sebagai bahan untuk memilih atau menentukan karyawan yang perlu dipromosikan, dipindah dan diberhentikan sementara atau diberhentikan seterusnya. Hasil penilaian juga digunakan sebagai dasar pertimbangan metode pengujian, pengupahan dan pemberian bonus.
b. Tujuan Pengembangan. Kecenderungan program penilaian prestasi kerja yang dilaksanakan oleh beberapa perusahaan dewasa ini mengarah pada usaha-usaha pengembangan karyawan.. penilaian prestasi kerja memberikan informasi mengenai kekuatan dan kelimahan karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan program pelatihan untuk memperbaiki prestasi kerja bagi karyawan yang berprestasi rendah, dan meningkatkan motivasinya. Data-data hasil penilaian prestasi kerja dapat juga digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengembangkan system umpan balik terhadap karyawan dan menentukan kebutuhan konseling bagi karyawan.
c. Tujuan Penelitian. Usaha-usaha perbaikan dan pengembangan efektifitas metode dan pelengkapan kerja, serta kondisi yang dapat dicapai salah satunya dengan memanfatkan informasi yang diperoleh dari penilaian prestasi kerja. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengefaluasi validitas system seleksi, perekutan karyawan dan program pelatihan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penilaian prestasi kerja karyawan adalah untuk mengetahui potensi dan mengembangkan karier karyawan serta mengambil keputusan tentang promosi dan gaji, dapat memberikan kesempatan baik bagi atasan maupun bawahan untuk bersama-sama meninjau hubungan kerja diantara karyawan dan pimpinan. Penilaian hasil kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasikan ketidak efisienan masalah pekerjaan yang mungkin timbul dalam perusahaan.


Aspek-aspek Penilaian prestasi kerja
Untuk mengetahui sampai sejauh mana prestasi yang diperoleh karyawan, maka perlu adanya suatu system penilaian. Hal ini dimaksud untuk mengukur dan menghargai perilaku karyawan yang mendukung tercapainya tujuan organisasi. Tiffin dan Mc Cormick (Minidiharjo,2001) memberi batasan, bahwa penilaian prestasi kerja sebagai penilaian karyawan yang dilakukan secara sistematik oleh pengawas atau orang lain yang mengetahui prestasi kerja. Gibson (Anoraga,1992) mendefinisikan penilaian prestasi kerja dengan hak untuk tetap bekerja, pemberhentian, promosi, penurunan jabatan, pemindahan, kenaikan atau pengurangan gaji atau pemasukan karyawan kedalam program pelatihan.
Handoko (1983), berpendapat bahwa prestasi kerja adalah suatu proses yang menilai proses tersebut adalah organisasi dan organisasi yang mengefaluasi atau menilai penilaian prestasi kerja karyawan. Suntoro (1998) memberi definisi penilaian prestasi kerja sebagai pengembangan secara sistematis mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan dalam melaksanakan tugas secara individual yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas pekerjaannya.
Menurut Meier (As’ad,1992) aspek yang bisa digunakan untuk mengukur prestasi kerja adalah : kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan.
Anaraga (1992), criteria-kriteria yang digunakan untuk memajukan prestasi kerja karyawan atau pegawai yaitu :
a. Mutu kerja, ketepatan, ketrampilan, ketelitian, kerapian.
b. Kualitas kerja, keluaran, tidak hanya mempertimbangkan tugas-tugas regular, tetapi juga berapa cepat karyawan menyelasaikan tugas-tugas ekstra atau mendesak.
c. Ketangguhan mengikuti perintah, kebiasaan, keselamatan (sefty) yang baik, inisiatif, ketepatan waktu dan kehadiran.
d. Sikap terhadap perubahan pekerjaan, teman sekerja dan kerjasama.
Siagian (1995) mengatakan bahwa aspek-aspek dalam penilaian prestasi kerja antara lain yaitu :
a) Manusianya. Yang dinilai adalah menusia, yang mana memiliki kemampuan tertentu, namun ia juga luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan.
b) Adanya tolok ukur. Penilaian memerlukan tolok ukur yang realistic. Hal ini berkaitan langsung dengan tugas seseorang dan criteria yang ditetapkan atau diterapkan secara objektif.
c) Penilaian sebaiknya dilakukan secara berkala. Hasil penelitian itu di dokumentasikan dengan rapi dalam arsip kepegawaian yang memuat semua karyawan. Jadi informasi yang ada tidak hilang.
d) Bahan pertimbangan. Hasil prestasi kerja setiap karyawan menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil oleh perusahaan, misalnya mutasi pegawai atau dalam pemberhentian kerja yang tidak ada perintah sendiri.

Berdasarkan uraian-uraian dan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan aspek-aspek penilaian prestasi kerja antara lain yaitu kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai jabatan yang dipegang, keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan, berapa cepat karyawan menyelasaikan perintah, kebiasaan, keselamatan (safty) yang baik, inisiatif, ketepatan waktu dan kehadiran, sikap terhadap perubahan pekerjaan, teman sekerja dan minat kerja.

Retardasi Mental

Retardasi Mental (mental retardation) adalah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan social (APA,2000)
Retardasi mental didiagnosis berdasarkan kombinasi dari 3 kriteria :
1. skor rendah pada tes intelegensi formal (skor kira-kira 70 atau di bawahnya)
2. adanya bukti hendaknya dalam melakukan tugas sehari-hari dibandingkan dengan orang lain yang seusia dalam lingkup budaya tertentu, dan
3. perkembangan gangguan terjadi pada usia 18 tahun

Penyebab Retardasi Mental
- Sindrom Down dan Abnormalitas Kromosom Lainnya
sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta anomli fisik yang beragam.
- Sindrom Fragile X dan Abnormalitas Genetic Lainnya
Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang diwariskan dan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X
- Phenylketonuria (PKU)
Merupakan gangguan yang menghambat metabolisme asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali bila pola makan amat dikontrol.
- Faktor-faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi atau penyalah gunaan obat selama ibu mengandung.
Penyakit ibu yang juga dapat menyebabkan retardasi pada anak adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital
- Penyebab-penyebab Budaya-Keluarga
Suatu bentuk retardasi mental ringan uang dipengaruhi oleh lingkungan yang miskin. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau social yang miskin, yaitu yang memberi stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada anak-anak.

Seberapa pentingkah pre school?

Pendidikan pra sekolah atau sering disebut pre school banyak menjamur di masyarakat. Dan sudah menjadi suatu trend di masyarakat. Pendidikan pra sekolah adalah suatu tempat dimana anak-anak berkumpul dan diajarkan untuk mempersiapkan diri mereka sebelum masuk ke sekolah. Ada pre school yang menawarkan pendidikn untuk anak-anak mulai dari usia yang sangat dini yaitu 6 bulan sampai usia cukup untuk masuk TK, yaitu sekitar umur 4 tahun. Apakah sebagai orang tua kita perlu mengikut sertakan mereka ke dalam sebuah pre school? Seberapa pentingkah pre school untuk anak-anak kita?Masa anak-anak usia pra sekolah mempunyai tugas perkembangan, yaitu:
1. Perkembangan Personal Sosial
kemampuan si kecil berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain/lingkungannya serta menilai bagaimana kemandiriannya.
2. Perkembangan Motorik Halus
kemampuan anak dalam mengoordinasikan mata dan kedua tangannya. Contohnya untuk menggambar, menjimpit kismis, mencoret, menyusun balok, dan sejenisnya.
3. Perkembangan Bahasa
kemampuan anak mendengar atau merespons suara, berbicara dan mengikuti perintah.
4. Perkembangan Motorik Kasar
kemampuan anak seperti jalan, melompat, dan sebagainya.

Selain itu masa 0-5 tahun merupakan ”golden age” dimana 80 persen otak anak berkembang pada masa tersebut. Pada masa tersebut peran orang tua sangat besar dalam mengawasi proses tumbuh dan berkembang otak anak. Pada masa ini informasi akan mudah diserap entah itu baik ataupun buruk. Maka sangatlah penting pendidikan sebelum sekolah itu dilakukan.

Jika orang tua mampu mandampingi anak untuk dapat mengoptimalkan tugas perkembangannya seperti yang dijelaskan di atas, orang tua tidak perlu membawa anak ke pre school. Karena dengan belajar sendiri di rumah bersama orang tua, orang tua bisa memantau langsung perkembangan anak dan bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak. Namun jika orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk memberikan pendidikan pra sekolah, ada baiknya untuk menyertakan anak-anak ke pre school. Tetapi dengan menyekolahkan di pre school tidak berarti orang tua melepaskan tanggung jawab mendidik anak kepada guru, orang tua tetap harus bertanggung jawab dan selalu memperhatikan perkembangan anak. Selain itu ada beberapa tips yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam memilih pre school, yaitu:
1.Pilihlah pre school yang membuat anak merasa senang dan nyaman berada di dalamnya
2.Sebaiknya jangan memilih lokasi terlalu jauh dari rumah yang dapat menyebabkan anak merasa lelah
3.Pilihlah pre school yang memiliki program sit-in, sehingga anak dapat mencoba bersekolah di pre school tersebut selama beberapa hari untuk mengetahui apakah memang sesuai dan nyaman untuk anak anda

Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak

Menumbuhkan minat baca anak bisa menjadi hal yang begitu sulit ataupun begitu mudahnya. Saya tidak akan membahas banyak teori-teori psikologi dalam posting ini. Karena saya yakin sudah banyak yang membahas teori-teori tersebut.

Menurut Havighurts masa anak-anak
usia 6-12 tahun memiliki tugas perkembangan untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam membaca. Dalam meningkatkan kemampuan untuk membaca tersebut seorang anak perlu didampingi oleh orang lain. Pendampingan bisa dilakukan oleh orang tua sebagai orang terdekat, guru, dan semua orang di lingkungan terdekat yang mampu mendampingi anak dalam menumbuhkan minat bacanya.

Ada beberapa point yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan minat baca anak, yaitu:
1.Orang tua sebagai orang yang terdekat dengan anak harus memberikan contoh bahwa membaca merupakan kegiatan menyenangkan dan menjadikannya sebagai kebiasaan sehari-hari.
2.Menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung anak untuk membaca, seperti menyediakan perpustakaan keluarga.
3.Menumbuhkan motivasi kepada anak dengan cara memberikan reward berupa suatu bacaan yang benar-benar mereka inginkan apabila anak mencapai suatu keberhasilan.
4.Memilih bahan bacaan yang tepat sesuai dengan umurnya. Misalnya jika usia anak masih dini dan mereka dalam tahap belajar membaca, berikan buku-buku yang menyertakan visualisasi yang memudahkan dan menyenangkan.
5.Menciptakan suasana membaca yang menyenangkan dengan meluangkan waktu untuk mendampingi anak dan memperhatikannya ketika mereka membaca.
6.Mintalah kepada anak untuk memilih menu makanannya sendiri jika sedang berada di rumah makan dengan menyodorkan daftar menu, bisa juga dengan bermain “mencari kata” ketika berada di tempat umum.
7.Adanya koordinasi antara orang tua dan guru tentang perkembangan belajar anak di sekolah, sehingga orang tua mengetahui minat baca anak.
8.Berikan porsi waktu yang cukup dalam membaca, hal ini bervariasi.

Jangan pernah memaksakan kehendak Anda agar anak mau membaca. Tumbuhkanlah minat baca anak dengan mengacu pada poin-poin di atas. Anda dapat berkreasi sesuka Anda dalam menumbuhkan minat baca anak.

Alat Tes Psikologi Eksperimen “Steadiness Tester- Hole Type”

Setelah saya membahas alat tes psikologi eksperiment Steadiness Tester-Groove Type, Dalam artikel Psikologi kali ini, saya akan membahas alat tes psikologi Steadiness Tester- Hole Type. Sama seperti Steadiness Tester_Groove Type, alat tes psikologi Steadiness Tester- Hole Type juga merupakan salah satu alat tes psikologi untuk mengatur stabilitas tangan. Alat tes Psikologi ini juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan motorik halus, diantaranya mengarahkan gerakan, tingkat gemetar (tremor), presisi, kecepatan, gerakan tangan, lengan dan ketangkasan jari.

Seperti pada Steadiness Tester_Groove Type, alat tes psikologi Steadiness Tester- Hole Type ini juga dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar pengaruh dari variable stress, ,kegelisahan, konsumsi bahan kimia (kafein, alcohol, narkoba), usia , kelelahan, kebugaran.

Stabilitas tangan sangatlah penting saat kita memilih jalur profesi yang hendak ditekuni. Misalnay untuk menjadi seorang dokter bedah, dokter Gigi. Stabilitas tangan juga sangat vital digunakan dalam jenis olahraga tertentu.

Untuk mengoperasikan Steadiness Tester- Hole Type, subjek diminta memegang stylush dan memasukan melalui lubang/hole hingga mencapai batas ujung yang berwarna merah. Posisi masuknya harus lewat diatas posisi sensor dan gerak stylush jangan ditumpukan pada sensor. Saat Stop, tombol harus di tekan. Dalam menggunakan alat tes psikologi ini waktu yang terpakai dan jumlah kesalahan akibat menyentuh dinding hole akan tercatat secara otomatis.

Psikologi Pendidikan

Irish (1996) membuat ringkasan penting dari literatur mengenai penelitian tentang pembelajaran dan hubungan yang spesifik dalam keluarga. Pengetahuan utama tentang keluarga menghasilkan gagasan bahwa ada kemungkinan setiap anak menggambarkan kondisi dalam keluarganya. Sebaiknya, kita mengartikan keluarga sebagai unit/kesatuan bukan pada masing-masing individunya. Tetapi, data utama tetap diperoleh dari masing-masing anggota keluarga (Bell, 1962; Haley, Ed., 1971). Proses pengenalan diri (self-definition) dimulai dari keluarga. Anak mambangun kepribadian dan mempengaruhi keluarganya dengan melukiskan diri mereka sendiri dengan terpisah tetapi tetap menjadi individu yang berinterkasi. Handel berpikir akan sangat membantu untuk mempersatukan pengertian yang mencakup individu dan keluarga. Setiap orang harus didefinisikan psisi mereka dalam proses di keluarga (Handel, 1965).

Dalam hukum-hukum sejarah yang pasti, masa depan selalu berada ditangan generasi muda, yakni pada anak-anak. Kesadaran untuk mencerdaskan anak tentulah dimiliki oleh setiap oarng tua yang bijak. Persoalan dalam pendidikan keluarga adalah bahwa pengorbanan dan kerja keras para orang tua yang mengharapkan anak-anak cerdas ini, seringkali tidak disertai dengan kesadaran dan pengetahuan (know why and know how) yang memadai tentang mencerdaskan anak itu sendiri. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya adalah tugas para guru dan intuisi pendidikan, sementara mereka sendiri asyik dengan profesinya.

Kesadaran bahwa tugas utama mencerdaskan anak adalah tugas orang tua, akan memberikan pengaruh yang positif, dalam pembentukan tanggung jawab dan pengkondisian lingkunag keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw, “Setiap bayi yang lahir memiliki fitrah tawhid, orang tualah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Orang tua yang sadar dengan tanggung jawab pendidikan dan pencerdasan ini akan lebih arif dalam “memilihkan dan menawarkan” perangkat permaianan, mengajak ke tempat rekreasi dan pembentukan lingkungan anak yang mendukung proses belajar dan pencerdasan mereka. Sebagai orang tua, kita tidak saja mampu membantu mengerjakan PR dan menyelesaikan pelajaran lainnya, tetapi juga mengarahkan anak dan menunjukkan jalan hidup yang benar (sirat al-mustaqim), sehingga memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini dan akherat kelak.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

Fungsi pendidikan dalam keluarga tak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang memiliki beberapa turunan fungsi yang bersifat kultur (pendidikan budaya) untuk mempartahankan budaya dan adat keluarga, bersifat religi (pendidikan agama) agar kehidupan dalam keluarga berjalan dengan baik, sejahtera , tentram dan terarah. Selain itu, bersifat ekonomis (pendidikan ekonomi) sehingga tidak tercipta krisis keuangan keluarga, bersifat sosialisasi (pendidikan sosial) agar menciptakan suasana yang kondusif baik secara internal maupun eksternal, bersifat protektif (pendidikan proteksi) untuk melindungi wahana keluarga dari pengaruh apapun atau faktor apapun yang merugikan bagi keluarga dan lainya.

Beberapa hal yang memegang peranan penting keluarga sebagai fungsi pendidikan dalam membentuk pandangan hidup seseorang meliputi pendidikan berupa pembinaan akidah dan akhlak, keilmuan atau intelektual dan kreativitas yang mereka miliki serta kehidupan pribadi dan sosial.
1) Pembianaan Intelektual.
Pembinaan intelektual dalam keluarga memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitas akan mendapat derajat yang tinggi. Dengan adanya pendidikan melalui pembinaan intelektual maka kehidupan dalam keluarga dapat berjalan secara logis dan benar.
2) Pembinaan Akidah dan Akhlak
Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang anak dengan dasar-dasar keimanan, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka seorang tokoh terkemuka yaiu al-Ghazali memberikan beberapa metode pendidikan dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan yaitu dengan cara memberikan pemahaman lewat hafalan.

Sebab proses pemahaman diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi). Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Akidah adalah bentuk penyaksian dari sebuah keimanan atas keesaan Tuhan. Sedangkan Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak. Dalam keluarga pendidikan yang berupa pembinaan akidah dan akhlak dilaksanakan dengan memberi contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.

3)Pembinaan Kepribadian dan Sosial.
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatar belakanginya.
Mengingat hal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjaga emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanya kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi support kepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda dan belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak anak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.
Disamping itu, dalam pembinaan kepribadian dan sosial tersebut akan menciptakan fungsi pendidikan yang bersifat kultural, sehingga budaya dan adat yang dipegang dalam kelurga dapat tetap lestari dan terjaga.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

B. Tujuan Pendidikan Keluarga
Perbuatan mendidik diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pendidikan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989, tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Tujuan-tujuan ini bisa menyangkut kepentingan anak itu sendiri, kepentingan masyarakat dan tuntutan lapangan pekerjaan. Proses pendidikan terarah pada peningkatan, penguasaan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap, dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangn diri anak. Pengembangan diri ini dibutuhkan untuk menghadapi tugas-tugas dalam kehidupannya sebagai pribadi, sebagai siswa, karyawan, profesional, maupun sebagai warga masyarakat.

Keluarga bukan hanya menjadi tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya. Keluarga merupakan masyarakat kecil sebagai prototype masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada didalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan.

Diantara aspek-aspek kehidupan tersebut, pendidikan menepati kedudukan yang paling sentral dalam kehidupan keluarga, sebab ada suatu kecenderungan yang sangat kuat pada manusia, bahwa mereka ingin melestarikan keturunannya dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Cita-cita orang tua tentang anak direlisasikan melalui pendidikan.

Tujuan umum dari pendidikan keluarga adalah tercapainya perkembangan yang optimal sesuai dengan potensinya masing-masing. Sedangkan tujuan-tujuan yang khusus adalah:
1. Pemahaman yang lebih baik tentang diri, lingkungan, dan perkembangannya.
2. Mampu memilih dan menentukan arah perkembangan dirinya, mengambil keputusan yang tepat bagi diri dan lingkungannya.
3. Mampu menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun lingkungannya.
4. Memiliki produktivitas dan kesejahteraan hidup.

C. Karakteristik Pendidikan Keluarga
Di dalam pendidikan keluarga setiap anggota keluarga mempunyai peranan masing-masing. Seperti Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam keluarga walaupun tidak ada kurikulum khusus tertulis yang mereka buat atau ikuti. Bapak sebagai penanggung jawab keluarga yang mengantarkan anak untuk memasuki lingkungan sekitarnya. Sedangkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya.
1) Peran Ayah dalam Keluarga
B. Simanjuntak dan I.I. Pasanibu menyatakan bahwa peran ayah itu adalah (1) sumber kekuasaan sebagai dasar identifikasi, (2) penghubung dunia luar, (3) pelindung ancaman dunia luar dan (4) pendidik segi rasional (B. Simanjuntak, II Pasaribu, 1981, p.110). Sikun Pribadi membagi peran ayah menjadi (1) pemimpin keluarga, (2) sex poster, (3) pencari nafkah, (4) pendidik anak-anak, (5) tokoh identifikasi anak, (6) pembantu pengurus rumah tangga.

Ayah berperan sebagai jalannya rumah tangga dalam keluarga. Sebagai pemimpin keluarga orang tua wajib mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya rumah tangga dapat berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Ayah sebagai sex partner. Dapat melaksanakan peran ini dengan diliputi oleh cinta kasih yang mendalam. Seorang ayah harus mampu mencintai istrinya dan jangan selalu minta dicintai istrinya. Ayah sebagai pencari nafkah. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Sebab segala segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya untuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Ayah sebagai pendidik. Terutama menyangkut pendidikan yang bersifat rasional. Pendidikan mulai diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas, yaitu saat anak mulai mengembangkan ego dan super egonya. Kekuatan ego (aku) ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan realitas hidup yang terdiri dari segala jenis persoalan yang harus dipecahkan. Ayah sebagai tokoh atau modal identifikasi anak. Untuk identifikasi diri dalam rangka membentuk super ego (aku ideal) yang kuat. Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik. Oleh karena itu seorang ayah harus memiliki pribadi yang kuat. Pribadi ayah yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak. Aku ini akan terbentuk dengan baik jika ayah sebagai model dapat memberikan kepuasan bagi anak untuk identifikasi diri. Ayah sebagai pembantu pengurus rumah tangga. Sebagai lembaga sosial yang memerankan berbagai fungsi kehidupan manusia. seorang ayah dituntut untuk bekerja keras, dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena persoalan-persoalan kehidupan makin lama makin sulit dan kompleks.

2)Peran Ibu dalam Keluarga
Kartini Kartono (1977) menyebutkan bahwa fungsi wanita dalam keluarga sebagai berikut (1) sebagai istri dan teman hidup (2) sebagai partner seksual (3) sebagai pengatur rumah tangga (4) sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial. Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan wanita dalam keluarga adalah (1) sebagai istri (.2) sebagai pengurus rumah tangga (3) sebagai ibu dari anak-anak, (4) sebagai teman hidup dan (5) sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang intim. Kedua pendapat tersebut ternyata dapat sama, hanya penempatan urutan dan kombinasi peran yang brbeda. Nani Suwondo (1981) menyatakan bahwa wanita dalam keluarga itu mempunyai panca tugas yaitu (1) sebagai istri (2) sebagai ibu pendidik (3) sebagai ibu pengatur rumah tangga (4) sebagai tenaga kerja (5) sebagai anggota organisasi masyarakat.

Wanita sebagai ibu pendidik anak dan pembina generasi muda. Ibu sebagai pendidik anak bertanggung jawab agar anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ibu sebagai pengatur rumah tangga. Ibu pengatur rumah tangga merupakan tugas yang berat. Sebab seorang ibu harus dapat mengatur segala peraturan rumah tangga. Oleh karena itu ibu dapat dikatakan sebagai administrator dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu ibu harus dapat mengatur waktu dan tenaga sescara bijaksana.
Ibu sebagai tenaga kerja. Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan baik di desa maupun di kota tampak bahwa ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Harus ada kesepakatan yang kuat dan bijak antara ibu dan ayah.
Ibu sebagai makhluk sosial. Ibu sebagai makhluk sosial tidaklah cukup berfungsi (1) beranak, (2) bersolek, (3) memasak atau seperti predikat ibu di Barat ibu hanya mengurusi (1) anak, (2) pakaian, (3) dapur, (4) makanan saja (Hardjito Notopuro, 1984, p.45). Ibu sebagai makhluk sosial perlu diberi peran dalam masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dan politik. Di desa-desa ibu berperan aktif dalam PKK, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, di kantor-kantor ia diberi kesempatan untuk mendampingi suami sebagai pengurus atau anggota Darma Wanita, Darma Pertiwi dan sebagainya. Ibu dengan tugas-tugas ini akan merasa puas dan banagia, jika semua tugas itu dapat dilaksanakan sebaik-baiknya
Karakteristik yang paling menonjol dalam pendidikan keluarga adalah tentang metode modelling. Secara tidak langsung maupun langsung anggota keluarga saling mengidentifikasi karena intensnya pertemuan mereka.

D. Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan bagaian integral dari sistem pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar hukum pendidikan Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum ideal, dasar hukum struktural, dan dasar hukum operasional. Dasar hukum ideal adalah pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah pancasila.

Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak-anaknya. Orang tua itu mempunyai wajib hukum untuk mendidik anak-anaknya. Keberhasilan anak dalam pendidikan merupakan keberhasilan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, pemerintah, dan masyarakat. Pendidikan dalam keluarga berlangsung karena hukum kodrat. Secara kodrati orang tua wajib mendidik anak. Oleh karena itu orang tua disebut pendidikan alami atau pendidikan kodrat. Pembagian tugas dan peran dalam keluarga membawa konsekuensi dan tanggung jawab pada masing-masing peran itu dalam keluarga.
1) Jenis-jenis Pendidikan dalam Keluarga
Jenis-jenis pendidikan yang perlu diberikan pada anak. Dalam keluarga diberikan bermacam-macam kemampuan jika diperhatikan kegiatan di dalam rumah tangga maka terjadi transformasi nilai-nilai yang beraneka ragam. Nilai ada bermacam-macam, Driyarkara S.Y. yang dikutip dalam Pengasuh Basis (1980), (1) nilai vital, (2) nilai estetik, (3) nilai kebenaran dan (4) nilai moral Anton Sukarno (1986) membagi nilai menjadi (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai rohaniah yang terdiri dari nilai kebenaran, nilai moral, nilai keindahan dan nilai religius. Nilai material menurut Driyarkara termasuk nilai vital. Nilai material berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani, Nilai vital berkaitan dengan semua barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kejasman. Jadi Driyarkara menggabungkan antara nilai material dan nilai vital.
Nilai-nilai yang menyebabkan seseorang dapat merasakan bahagian dengan mengalami barang-barang yang bagus dan indah disebut nilai estetika atau nilai keindahan.
- Nilai kebenaran
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ketahui setiap orang ingin mengetahui dan mengerti tentang sesuatu hal baik yang bersumber dari dalam dirinya maupun hal-hal yang diluar dirinya. Nilai kebenaran berkaitan dengan berpikir logis manusia. Sesuatu itu bernilai kebenaran jika dipandang dari akal suatu hal itu benar. Jika seseorang dalam memecahkan suatu persoalan yang dihadapi maka ia merasa puas, sebab ia telah menemukan kebenaran terhadap sesuatu yang tadinya merupakan kesulitan tadi.
- Nilai-nilai moral
Manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. N. Driyarkara S.Y. menjelaskan bahwa untuk perkembangan manusia, manusia itu harus melaksanakan hukum-hukum yang melekat pada diri manusia sebagai manusia (Pengasuh Majalah Basis, 1980, p.110). Hukum-hukum ini disebut hukum moral atau kesusilaan. Menurut hukum moral manusia itu harus melaksanakan suatu kewajiban, harus cinta sejati kepada sesama, meluhurkan martabat dan derajat manusia. Hukum moral dan kebebasan adalah dua hal yang melekat pada diri manusia. Dengan hukum moral manusia terikat, tetapi manusia bebas untuk melaksanakan. Nilai-nilai moral atau nilai susila berkaitan dengan perilaku yang baik dan buruk.
- Nilai religius atau nilai keagamaan
Nilai religius merupakan manifestasi dari manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan dapat mengalami dan merasakan suatu keharusan di dalam dirinya untuk mengakui bahwa adanya bukan adanya sendiri, tetapi adanya karena diadakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia mengakui suatu realitas bahwa dia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu ia dapat disebut makhluk Tuhan yang harus taat dan taklim kepada-Nya. Dnyarkara SY. mengatakan bahwa nilai keagamaan merupakan fondasi dari nilai-nilai moral. Nilai moral dan nilai agama ini merupakan tuntutan dari dalam diri manusia. Dalam keluarga terjadi transformasi nilai-nilai. Seluruh nilai-nilai tersebut telah ditransformasikan ke dalam diri anak oleh orang tua. Oleh karena itu segala jenis pendidikan telah dilaksanakan dalam keluarga. Sudardjo Adiwikarta (1988, p.66) menyatakan bahwa di semua lingkungan pendidikan semua aspek mendapat tempat.
Seperti telah dijelaskan di muka, kita mengenal tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, llngkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Semua lingkungan pendidikan ini telah menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor. Dalam hal ini, pendidikan yang diberikan hanyalah dasar-dasarnya saja. Oleh karena itu Sikun Pribadi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama bagi perkembangan anak. Pendidikan yang pertama merupakan pondasi bagi pendidikan selanjujtnya (Sikun Pribadi, 1981, p.67). Semua jenis pendidikan masih dikembangkan dan disempurnakan di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dan akhirnya hanya pendidikan moral dan religius saja yang bertahan di lingkungan di rumah.
Dalam keluarga juga ia mulai mempelajari cara-cara dan aturan berbuat dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianut masyarakat sekitarnya. Sosialisasi dalam berbagai segi kehidupan dipelajari dalam keluarga. Tentu hasilnya akan sangat tergantung kepada berbagai karakteristik keluarga tempat anak itu diasuh dan dibesarkan.

2)Pola Asuh Dalam Keluarga
Jika peran-peran dalam keluarga kita perhatikan di sana ada yang disebut bapak, ibu dan anak. Ketiga istilah ini dalam kehidupan sehari-hari sangat familier. Bapak dalam keluarga mempunyai makna khusus yaitu sebagai role-job, skill-job, dan aim-job. Bapak sebagai peran telah kita bicarakan di muka bahwa bapak memiliki peran ganda termasuk di dalamnya aim-job dan skill-job. Dalam kesempatan akan lebih berkaitan dengan skill-job dalam kaitan interaksi antara bapak dan anak, ibu dan anak. Pengertian ibu dan bapak dalam keluarga akan nampak peran ibu dan bapak sebagai orang yang memiliki keterampilan untuk mendidik, mengajar dan melatih anak. Keterampilan bapak dan ibu dalam menyampaikan nilai-nilai kepada anak-anaknya.
Keterampilan dalam menyampikan nilai-nilai kepada anak ini dapat berpusat pada dua kutub yang dipengaruhi oleh gaya orang tua. Sudardjo Adiwikarta (1988) membedakan dua pola yang berpusat pada anak (child centered) dan pola yang berpusat pada orang tua (parent centered). Singgih D. Gunarsa (1983) berdasarkan gaya orang tua membedakan tiga cara yaitu (1) cara otoriter, (2) cara bebas, (3) cara demokrasi, (Singgih D Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, 1983, p. 82-84).
- Pola asuh otoriter
Pola asuh yang otoriter akan terjadi komunikasi satu dimensi atau satu arah. Orang tua menentukan aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain.
- Pola asuh bebas
Subjek asuh bebas, berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subiek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur dan mungkin memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknva, hubungan tidak akrab dan anak harus tahu sendiri tugas apa yang harus dikerjakan.
Dua pola ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh otoriter memang memungkinkan terlaksananya proses transformasi nilai dapat berjalan lancar. Akan tetapi anak mengerjakan tugas dengan rasa tertekan dan takut. Akibatnya jika orang tua tidak ada mereka akan bertindak yang lain. Dia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Pola asuh bebas memang memandang anak sebagai subyek, anak bebas menentukan pilihannya sendiri. Akan tetápi anak justru menjadi berbuat semau-maunya; ia berbuat dengan mempergunakan ukuran diri sendiri. Pada hal anak berada dalam dunia anak dan dia harus masuk pada dunia nilai dan dunia anak. Oleh karena itu anak akan kebingungan ibarat anak ayam yang ditinggalkan induknya. Akhirnya anak akan lari ke sana-kemari tanpa arah.
- Pola asuh domokratis
Pola asuh ini berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak sebagal makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan diri. Anak sebagai pribadi yang masih perlu mempribadikan dirinya, dan terbuka untuk dipribadikan. Proses pempribadian anak akan berjalan dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dan tersurat dalam proses itu.

3) Fungsi Pendidikan Keluarga dalam Islam
Fungsi pendidikan bagi keluarga meliputi fungsi melahirkan anak dan menyusukannya, fungsi pengeluaran dan memberi sumbangan perekonomian untuk memenuhi keperluan anggota-anggota keluarga, fungsi pelayanan terhadap anggota-anggota keluarga, fungsi sosial, agama, ekonomi, politik, dan dimana anggota-anggota keluarga tidak membatasi aktifitasnya dalam rumah, tetapi keseluruhan masyarakat dimana keluarga itu berada.
Adapun fungsi-fungsi yang akan kekal adalah fungsi melahirkan anak (menyusui, pemeliharaan anak, pemakanan jasmani dan psikologikal), fungsi pendidikan (proses sosialisasi, nasihat ,bimbingan, pengembangan bakat, dan lain-lain). fungsi pendidikan yang akan kekal menjadi tanggung jawab pokok bagi keluarga. Penting atau tidak akan berubah karena berubahnya konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran pendidikan, juga tidak akan berubah karena bertambahnya jumlah institusi-institusi khas untuk pendidikan dan lembaga-lembaga. Walaupun demikian tingginya tingkat perkembangan dan perubahan yang berlaku, keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya dan menganggap sebagian tugasnya sebagai fungsi umum yang menyiapkan sifat cinta-mencintai dan keserasian diantara anggota-anggotanya.

E. Problematika Pendidikan Keluarga
Umumnya konsep atau paradigma disandarkan atas pandangan-pandangan filosofis tentang manusia. Hal ini sebagai sesuatu yang wajar, mengingat pendidikan memilki perhatian utama terhadap manusia. Tanpa adanya asumsi-asumsi atau pandangan filosofis tentang manusia, sebuah konsep ynag berfungsi untuk perekayasaan atau pemberdayaan potensi manusiawi, tidak dapat dibangun. Begitu juga halnya jika kita ingin mendidik dan mencerdaskan anak.

Apa yang sering terjadi adalah orang tua yang ambisius dan terobsesi pada sesuatu, kemudian dengan serta merta ingin menjadikan anaknya tersebut seperti yang dikehendakinya atau minimal sesukses dirinya. Sebaliknya juga bisa terjadi, karena orang tua gagal atau terpuruk dalam suatu bidang atau jenis kegiatan, kemudian dia melarang anaknya untuk memasuki suatu bidang.

Kecenderungan orang tua yang demikian ini sesungguhnya mengandung kesalahan logis yang cukup serius. Pola seperti ini menurunt Jalaluddin Rachmat merupakan kerancuan berpikir dan mitos. Pemaksaan terhadap hal ini , apalagi dilakukan sejak dini, biasanya akan berakibat buruk bagi masa depan anak-anaknya. Sebuah obsesi atau kehidupan yang sulit dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagi anak-anaknya ketika memasuki usia dewasa bukan sebagai beban psikologis.
Untuk memperbaiki hal-hal tersebut kita perlu melihat secara objektif. Pertama perlu sekali mempertimbangkan perubahan-perubahan zaman. Kedua, ada potensi-potensi atau kelemahan yang berbeda pada setiap orang, termasuk antara anak dan orang tuanya. Ketiga, jika ada proses pemaksaan atau pembebanan seperti itu, sesungguhnya telah menutup peluang terhadap berbagai kemungkinan potensial dan kemampuan anak dikemudian hari.

Kesadaran dini untuk mengetahui siapa sesungguhnya anak adalah persoalan besar pertama yang harus dihadapi orang tua, sebelum berbagai persoalan menyangkut kewajiban dan hak-haknya terhadap anak. Pengetahuan tentang anaknya membantu orang tua berkomunikasi, bersikap dan tentu berupaya mencerdaskan anaknya sebaik mungkin.

Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi.
Definisi kenakalan remaja menurut para ahli

* Kartono, ilmuwan sosiologiKenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang”.
* Santrock “Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.”


Sejak kapan masalah kenakalan remaja mulai disoroti?

Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat.
Jenis-jenis kenakalan remaja

* Penyalahgunaan narkoba
* Seks bebas
* Tawuran antara pelajar



Penyebab terjadinya kenakalan remaja

Perilaku ‘nakal’ remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal).

Faktor internal:

1. Krisis identitasPerubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
2. Kontrol diri yang lemahRemaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.



Faktor eksternal:

1. KeluargaPerceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
2. Teman sebaya yang kurang baik
3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.


Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja:

1. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
3. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
4. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
5. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan

Monday 20 June 2011

Aku Yang Mencintaimu

Aku Yang Mencintaimu

INTRO : Bm F#m G D
G D G A

REEF (1) : Bm F#m
Ku yang mencintai dirimu
G D
Sepenuh hatiku
G D
Tak pernah kau hargai
G D
Tak pernah kau mengerti

Bm F#m G D
G D G D A

Bm F#m
Rasa dalam hati ini
G D
Tak lagi bisa ku bendung
G D
Saat dirimu ada
G D
Ada di dekatku
Bm F#m
Andai saja aku bisa
G D
Kan ku petikkan bintang
G D
Kupersembahkan hanya
G D A
Hanya untuk dirimu

REFF (1),REFF (2)

REFF (2) : Bm F#m
Ku tak mungkin sakitimu
G D
Meski ka uterus saja
G D
Sakiti dan sakiti
G D A
Terus sakiti aku

Bm F#m G D
G D G D 2x A
REFF (1),REFF (2)

Bm F#m G D
G D G D A

Bm F#m
Ku yang mencintai dirimu
G D
Sepenuh hatiku

Ingin Kau Pergi

Ingin Kau Pergi

INTRO : G

G Em
Kasih ku ingin kau mengerti
C D
Apa yang aku rasakan saat ku jadi kekasihmu
G Em
Mungkin kau bisa tahu apa yang
C D
Saat ini yang aku inginkan

G Em
REFF : Aku hanya inginkan kau tuk’ pergi
C D
Dari hidupku tinggalkan aku sendiri disini
G Em
Dan ku tak inginkan kau kembali lagi
C D
Karna hatiku terlanjur membencimu

G Em
Tak’kan ada cinta lagi untuk
C D
Dirimu yang pernah sakiti aku
G Em
Karna ku tak ingin terluka
C D
Untuk yang kedua kalinya


BACK TO REFF

G Em C D 4X

REFF 2X

G Em C D 2X

TEORI PSIKOANALISIS

TEORI PSIKOANALISIS
Biografi Tokoh
Sigmund Freud (6 Mei 1856 – 23 September 1939) adalah seorang neurolog Austria dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi, gerakan yang memopulerkan teori bahwa motif tak sadar mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu ia juga memberikan pernyataan pada awalnya bahwa prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas pada awalnya (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari Ibunya. Pengalaman seksual dari Ibu, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau tersublimasi hingga memunculkan berbagai prilaku lain yang disesuaikan dengan aturan norma masyarakat atau norma Ayah. Namun dalam perjalanannya setelah kolega kerjanya Alferd Adler, mengungkapkan adanya insting mati didalam diri manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak pernyataan Adler tersebut dengan menyangkalnya habis-habisan, namun pada akhirnya Freudpun mensejajarkan atau tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada didalam diri manusia, namun disandingkan dengan insting mati (Thanatos). Walaupun begitu dia tidak pernah menyinggung asal teori tersebut sebetulnya dikemukakan oleh Adler awal mulanya.
Freud tertarik dan belajar hipnotis di Perancis, lalu menggunakannya untuk membantu penderita penyakit mental. Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil menggunakan metode baru untuk menyembuhkan penderita tekanan Psikologis yaitu Asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dasar terciptanya metode tersebut adalah dari konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas adalah metode yang digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong keluar secara tidak disadari hingga menimbulkan permasalahan. Sedangkan Analisis Mimpi, digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar, pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktifitas emosi lain, hingga aktifitas emosi yang sama sekali tidak disadari. Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil di-ungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Hal-hal ini dilakukan untuk mengembangkan sesuatu yang kini dikenal sebagai “obat dengan berbicara”. Hal-hal ini menjadi unsur inti psikoanalisis. Freud terutama tertarik pada kondisi yang dulu disebut histeria dan sekarang disebut sindrom konversi.
Teori-teori Freud, dan caranya mengobati pasien, menimbulkan kontroversi di Wina abad kesembilan belas, dan masih diperdebatkan sengit di masa kini. Gagasan Freud biasanya dibahas dan dianalisis sebagai karya sastra, filsafat, dan budaya umum, selain sebagai debat yang berterusan sebagai risalah ilmiah dan kedokteran ini.
Buku pertamanya  “The Interpretasi of Dreams” tahun 1990, Freud menunjukkan bagaimana mimpi-mimpinya sendiri ia telaah dan ia tafsirkan, sehingga daripadanya ia memperoleh bahan yang berharga untuk memahami kehidupan psikis. Buku selanjutnya, Introductory Lecture on Psycho-analysis (1920), The Ego And The Id (1923), Future of an Illusion (1927), civilization and Its Discontents (1930), new introdutory lecture psycho-analysis (1940).
Hakekat Manusia
Sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Menurut Pendapat Freud, perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi yang tidak disadari, dorongan biologis, serta dorongan naluri  dan peristiwa yang berhubungan dengan  psikoseksual pada masa enam tahun pertama.
Insting menurut pendekatan ini adalah sentral, pada mulanya menggunakan libido untuk menanyatakan energi seksual,dan akhirnya memperluas istilah itu untuk energi dari semua kehidupan. Freud juga mempunyai keyakinan benarnya konsep tentang insting maut, kata lain untuk dorongan agresif. Menurut pendapat ini baik dorongan seks maupun dorongan agresif merupakan determinan yang kuat mengapa orang berperilaku seperti apa yang dilakukan
Struktur kepribadian
Menurut pandangan psikoanalitik, kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, ego, dan superego.
1. Id : komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan orisinal, di mana psinsip kerjanya ‘PLEASURE PRINCIPLE’. Dikendalikan oleh prinsip kesenangan yang tujuannya untuk mengurangi ketegangan, menghindari penderitaan, dan mendapatkan kesenangan, maka id adalah tidak rasional, tidak bermoral, dan didorong oleh satu pertimbangan  demi terpenuhinya kepuasan kebutuhan yang bersifat insting  sesuai dengan prinsip kesenangan.
2. Ego : bagian kepribadian yg bertugas sebagai pelaksana, sistem kerjanya pada dunia luar untuk  menilai realita dan berhubungan  dengan dunia. Ego berperan sebagai eksekutif yang memerintah,  mengendalikan, dan mengatur kepribadian. Dibawah perintah prinsip realitas, ego berpikir secara logis dan realitas serta memformulasikan rencana tindakan demi pemuasan kebutuhan.
3. Superego : bagian moral dari kepribadian manusia, merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, blh-tdk sst dilakukan oleh dorogan ego. Fungsinya adalah sebagai wadah impuls id, untuk menghimbau ego agar menggantikan tujuan yang moralistik dengan  yang realistik, serta memperjuangkan kesempurnaa
Mekanisme Pertahanan Ego
Dalam aliran psikoanalisis dari Sigmund Freud, mekanisme pertahanan ego adalah strategi psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa untuk berhadapan dengan kenyataan dan mempertahankan citra-diri. Orang yang sehat biasa menggunakan berbagai mekanisme pertahanan selama hidupnya. Mekanisme tersebut menjadi patologis bila penggunaannya secara terus menerus membuat seseorang berperilaku maladaptif sehingga kesehatan fisik dan/atau mental orang itu turut terpengaruhi. Kegunaan mekanisme pertahan ego adalah untuk melindungi pikiran/diri/ego dari kecemasan, sanksi sosial atau untuk menjadi tempat “mengungsi” dari situasi yang tidak sanggup untuk dihadapi.
Mekanisme pertahanan dilakukan oleh ego sebagai salah satu bagian dalam struktur kepribadian menurut psikoanalisis Freud selain id, dan super ego. Mekanisme tersebut diperlukan saat impuls-impuls dari id mengalami konflik satu sama lain, atau impuls itu mengalami konflik dengan nilai dan kepercayaan dalam super ego, atau bila ada ancaman dari luar yang dihadapi ego.
Faktor penyebab perlunya dilakukan mekanisme pertahanan adalah kecemasan. Bila kecemasan sudah membuat seseorang merasa sangat terganggu, maka ego perlu menerapkan mekanisme pertahanan untuk melindungi individu. Rasa bersalah dan malu sering menyertai perasaan cemas. Kecemasan dirasakan sebagai peningkatan ketegangan fisik dan mental. Perasaan demikian akan terdorong untuk bertindak defensif terhadap apa yang dianggap membahayakannya. Penggunaan mekanisme pertahanan dilakukan dengan membelokan impuls id ke dalam bentuk yang bisa diterima, atau dengan tanpa disadari menghambat impuls tersebut.
Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego
1. Represi : Yang palign dasar di antara mekanisme pertahanan lainnya. suatu cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran pikiran dan perasaan yang mengancam. represi terjadi secara tidak disadari.
2. Denial /pengingkaran: Memainkan peran defensif, sama seperti represi. orang menyangkal untuk melihat atau menerima masalah atau aspek hidup yang menyulitkan. Denial beroperasi pada taraf preconscius atau conscius
3. Reaction Formation/pembentukan reaksi: Salah satu pertahanan terhadap impuls yang mengancam adalah secara aktif mengekspresikan impuls yang bertentangan dengan keinginan yang mengganggu, orang tidak usah harus menghadapi anxietas yang muncul seandainya ia menemukan dimensi yang ini (yang tidak dikehendaki) dari dirinya. individu mungkin menyembunyikan kebencian dengan kepura-puraan cinta, atau menutupi kekejaman dengan keramahan yang berlebihan.
4. Proyeksi : Mengatribusikan pikiran, perasaan, atau motif yang tidak dapat diterima kepada orang lain. mengatakan bahwa impuls-impuls ini dimiliki oleh “orang lain diluar sana, tidak oleh saya”. misalnya seorang laki-laki yang tertarik secara seksual kepada anaknya perempuan, mengatakan bahwa anaknyalah yang bertingkah laku seduktif. dengan demikian ia tidak usah harus menghadapi keinginannya sendiri.
5. Displacement/pemindahan : salah satu cara menghadapi anxietas adalah dengan memindahkannya dari objek yang mengancam kepada objek “yang lebih aman”. misalnya orang penakut yang tidak kuasa melawan atasannya melampiaskan hostilitasnya di rumah kepada anak-anaknya
6. Rasionalisasi : kadang-kadang orang memproduksi alasan-alasan “baik” untuk menjelaskan egonya yang terhantam. rasionalisasi membantu untuk membenarkan berbagai tingkah laku spesifik dan membantu untuk melemahkan pukulan yang berkaitan dengan kekecewaaan. misalnya bila orang tidak mendapatkan posisi yang diinginkannya dalam pekerjaan, mereka memikirkan alasan-alasan logis mengapa mereka tidak mendapatkannya, dan kadang-kadang mereka berusaha membujuk dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa sebenarnya dia tidak menghendaki posisi tersebut.
7. Sublimasi : Dari pandangan freud, banyak kontribusi artistik yang besar merupakan hasil dari penyaluran energi sosial atau agresif kedalam tingkah laku kreatif yang diterima secara sosial dan bahkan dikagumi. misalnya impuls agresif dapat disalurkan menjadi prestasi olahraga.
8. Regresi : Beberapa orang kembali kepada bentuk tingkah laku yang sudah ditinggalkan. menghadapi stress atau tantangan besar, individu mungkin sudah berusaha untuk menanggulangi kecemasan dengan bertingkah laku tidak dewasa atau tak pantas.
9. Introyeksi : Mekanisme introyeksi terdiri dari mengambil alih dan “menelan” nilai-nilai standar orang lain. misalnya seorang anak yang mengalami penganiayaan, mengambil alih cara orangtuanya menanggulangi stress, dan dengan demikian mengabadikan siklus penganiayaan anak. introyeksi dapat pula positif, bila yang diambil alih adalah nilai-nilai positif dari orang-orang lain.
Kesadaran dan ketidaksadaran
1. Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya,
2. Kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut.
3. Kesadaran merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
Kecemasan
Kecemasan keadaan tegang yang memaksa kita berbuat sesuatu.  Kecemasan berkembnag karena konflik ego dan superego  mengenani kontrol akan energi psikis yang ada (Corey, 1995: 143)
Kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.
(1) kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata.
(2) kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat  sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan
(3) kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral
Tahap-Tahap Perkembangan Kepribadian
1. Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa.
2. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.
Kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun :
(1) tahap oral, bayi perlu medapatkan kebutuhan pangan dari ibunya. Fiksasi oral adalah ketidak puasan masa oral pada waktu bayi, yaitu akan berakibat menjadi individu yang tidak mudah percaya pada orang lain, penolakan terhadapcinta kasih, rasa takut dan ketidak mampuan menciptakan hubungan yang akrab dengan orang lain.
(2) tahap anal: 1-3 tahun, sona anal menjadi bagian signifikan dalam perkembangan kepribadian, fase ini mencangkup tugas perkembangan kebebbasan belajar, penerimaan terhadap kekuatan personal, belajar untuk melampiskan ungkapan negatif seperti amarah dan agresi.
(3) tahap palus: 3-6 tahun, konflik dasar pada nafsu seks antar keluarga terdekat. Tahap palus pria yang dikenal dengan  oedipus kompleks, pada wanita disebut elektra kompleks.
(4) tahap laten: 6-12 tahun, konflik dasar pada nafsu seks antar keluarga terdekat. Tahap palus pria yang dikenal dengan  oedipus kompleks, pada wanita disebut elektra kompleks.
(5) tahap genetal: 12-18 tahun, tahap ini adalah tahap puberitas, dan terus berlangsung sampai pada tahap senital.
(6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja. Tugas perkembangan dewasa awal yaitu menjalin hubungan yang akrab. Setengah baya merupakan tahap penyesuain antar apa yang dicapai dengan apa yang diinginkan. Usia senja adalah pemaknaan dari apa ynag telah didapat atau menyesal telah apa yang dilakukan.
Aplikasi Teori dalam Konseling
1. ”Manusia adalah Makhluk yang Memiliki Kebutuhan dan Keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif.
2. “Kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu  supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial, dalam masyarakat.
3. Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena  setiap manusia  selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dll,
4. Bimbingan   merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.
5. Pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual,  keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
6. “Tahapan Perkembangan Kepribadian Individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.
7. “Ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses  bimbingan yang  dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional  sehingga berubah menjadi rasional.
Tujuan Terapi
1. Membuat tidak  sadar menjadi sadar;
2. Mengatasi tahap-tahap perkembangan tidak terpecahkan
3. Membantu klien belajar dan mengatasi dabn menyesuaikan
4. Rekonstruksi kepribadian.
Peranan Konselor
1. Konselor sebagai ahli; mendorong transferensi dan ekspolrasi ketidaksadaran, menggunakan interpretasi.
2. Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tidak dikenal klien, dan bertindaksedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya. Tujuannya agar klien dengan mudah memantulkan perasaan kepada konselor. Pemantulan ini merupakan proyeksi klien yang menjadi bahan analisis bagi konselor (Willis, 2004: 16)
Hubungan Antara Terapis Dan Klien
Hubungan antara klien dengan penganalisis dikonseptualisasikan dalam proses  transferensi, yang merupakan inti dari pendekatan psikoanalitik. Transferensi memberi peluang bagi klien untuk melekat pada diri terapis tanggung jawab dari urusan yang belum terselesaikan” yang berasal dari hubungan masa lalu. Transferensi terjadi manakal klien bagkit kembali dari konflik-konflik berat usia dini yang ada hubunagnnya dengan cinta kasih, seksualitas, permusuhan,  keresahan dan kemarahan, membawanya ke masa kini, mengalaminya kembali dan lekatannya pada diri penganalisis (Corey, 1995: 169). Pada proses trnsfensi ini, liendapat secara bebas mengungkapkan pengalaman-pengalamnnya agar terapis dapat mengetahui masalh yang dihadapi klien secara lebih detail.
Teknik  Terapi
1. Asosiasi Bebas, merupakan teknih sentral dari psikoanalisis. Esensinya adalah bahwa klien melaju bersama pikirannya ataupun pendapat dengan jalan serta melaporkannya tanpa ada sensor. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yng tidak disadari. (Corey, 1995; 174)
2. Interpretasi, terdiri dari apa yang oleh penganalisis dinaytakan, diterangkan, dan bahkan diajarkan kepada klien arti dari perilaku yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, penentangan dan hubungan teraupetik itu sendiri. Fungsinya adalah memberi peluang kepada ego untuk mengasimilasikan materi baru dan dan untuk memprcepat proses menguak materi diluar kesadaran selanjutnya (Corey, 1995; 174).
3. Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk bisa mengungkapkan materi tidak disadari dan untuk bisa memberi klien suatu wawasan ke dalam kawasan problem yang tak terselesaikan (Corey, 1995; 175).
4. analisis resistensi ditujukkan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya resistensinya konselor meminta klien menafsirkan resistensi (Willis,  2004: 63)..
5. analisis transferensi. Konselor mengusakan klien mengembangkan transferensinya agar terungkap neorosisnya terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor menggunakan sifat0sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar agar terungkap transferensi tersebut (Willis,  2004: 63).

KONSELING DI SEKOLAH

KONSELING DI SEKOLAH


Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan bahkan dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Imbas yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negative. Sisi positif yang bisa diamati secara langsung adalah mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, mudahnya manusia melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik, mudahnya manusia memperoleh informasi dan mengakses informasi. Tetapi di sisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi ternyata berdampak pada perilaku manusia itu sendiri.
Dulu, kita sangat sulit untuk mendapatkan informasi dari daerah lain (apalagi yang berasal dari luar negeri), kalaupun bisa, itupun butuh waktu yang relatif lama. Mungkin kita masih ingat acara di televisi yaitu dunia dalam berita. Kita bisa menerima berita-berita yang terjadi di seputar kita hanya pada jam 21.00. Itupun, beritanya sudah disortir dan terjadi satu atau dua hari sebelumnya. Tetapi dengan keterbatasan teknologi yang ada, hal tersebut sudah dianggap canggih.
Apa yang terjadi saat ini? Sesuatu yang dulu dianggap sudah canggih, ternyata saat ini sudah bukan menjadi barang yang canggih lagi.
Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, maka apapun yang terkait dengan pelaksanaan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami perjalanan panjang hingga pada akhirnya di tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, maka konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor profesioan dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri yang menjadikan memiliki perbedaan dengan guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan konselor dengan usaha memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan. Keunikan ini yang seringkali masih belum dipahami di jalur pendidikan formal.
Lebih lanjut, ABKIN (2008) menyatakan bahwa peran konselor di sekolah menengah memiliki perbedaan dengan guru mata pelajaran dalam rangka proses mendidik dan menumbuhkan aktualisasi diri siswa. Konselor mempergunakan proses pengenalan diri konseli sebagai konteks layanan dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan penting dalam kehidupan konseli yang berkaitan dengan pendidikan, pemilihan, penyiapan diri serta kemampuan mempertahankan karier. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan dengan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yaitu pembelajaran yang sekaligus berdampak mendidik.
Untuk lebih memperdalam pemahaman tugas antara konselor sekolah dengan guru bidang studi, ABKIN (2008) menyatakan, ”Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Konselor Profesional
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor sekolah sebagai berikut:
“Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth. School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2008 telah menerbitkan Naskah Akademik yang secara yuridis menjadi pegangan bagi pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. ABKIN (2008) menyatakan bahwa sosok utuh konselor yang profesional memiliki dua kriteria yaitu a) kompetensi akademik dan b) kompetensi profesional.
Kompetensi akademik merujuk kepada landasan ilmiah pelaksanaan bimbingan dan konseling baik yang dikembangkan dari hasil penelitian ilmiah, pendapat pakar maupun praksis di bidang bimbingan dan konseling yang selama ini berkembang. Kompetensi yang dipersyaratkan bagi konselor adalah a) memahami secara mendalam dengan penyikapan yang empatik serta menghormati keragaman yang mengedepankan kemaslhatan konseli yang dilayani, b) menguasai khasanah teoritik tentang konteks, pendekatan, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Kompetensi profesional merujuk pada usaha konselor untuk menjadi profesional dengan mengikuti pendidikan profesi konselor.
Beberapa ahli menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya dan responsif terhadap konselinya (Simpson & Starkey, 2006). Lebih lanjut, Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan kualitas sebagai berikut:
a) Konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat ini;
b) Tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi;
c) Percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri;
d) Memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya;
e) Mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin;
f) Sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka;
g) Bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukannya untuk kesenangan pribadi;
h) Bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja;
i) Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah; dan
j) Berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain

Rogers (dalam Geldard, 1993), sebagai salah satu ahli konseling humanistik menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu a) congruence, b) empathy dan c) unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal ini akan mengarahkan konselor untuk dapat memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.

Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini tampak pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah pada dasarnya merupakan usaha menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah sebagai wahana pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling menjadi lahan yang baik bagi perkembangan teori konseling.
Saat ini, di era globalisasi, permasalahan yang muncul di sekolah juga menjadi semakin kompleks. Permasalahan tidak saja berkutat kepada kesulitan balajar, tetapi juga masalah-masalah lain seperti narkoba, penyimpangan seksual dan masih banyak lagi. Permasalahan ini secara langsung akan berdampak kepada konselor sebagai ujung tombak pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Keadaan seperti ini pada dasarnya menuntut konselor untuk secara simultan mengembangkan kemampuan konselingnya dengan didasarkan pada teori-teori konseling yang up to date.

Teori Behavioral
Pendekatan behavioral merupakan sebuah pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura, Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah, masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other). Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena merespon sebuah perintah atau aturan.

Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Soedarmadji dan Sutujono, 2005) menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat deterministik.
Chamblers & Goldstein (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang dominan.
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi (Corey, 2005).



Teori Humanistik
Pendekatan humanistik muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Tokoh aliran humanistik antara lain adalah Abraham Maslow, Rogers, Viktor Frankl dan masih banyak lagi yang lainnya. Para ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistik, hanya saja, dalam pelaksanaan strategi konseling ada perbedaan-perbedaan.
Pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mendasarkan pemikirannya pada teori tentang kebutuhan manusia. Dimana kebutuhan manusia terdiri dari a) kebutuhan biologis dan phisik, b) kebutuhan rasa aman, c) kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, d) kebutuhan harga diri dan e) kebutuhan aktualisasi diri.


Hirarki kebutuhan yang diuraikan oleh Maslow menunjukkan bahwa bahwa manusia akan terdorong untuk mencukupi kebutuhannya dan berusaha untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya (accomplished). Perilaku manusia akan termotivasi untuk mencukupi kebutuhannya sampai dengan tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
Perkembangan teori humanistik semakin pesat setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah 1) organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual, 2) Medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), dan 3) Self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers (dalam Soedarmadji & Sutijono, 2005) berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Hal ini mempunyai makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak manusia dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis (mandeg) tetapi lebih pada usaha untuk terus menjadi sesuatu (becoming). Dengan demikian, Rogers menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang 1) Terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), 2) Percaya pada diri sendiri (trust in themselves), 3) mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation), dan 4) Keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Pribadi/individu yang tidak sehat menurut Rogers adalah mereka yang mengalami ketaksejajaran (incongruence) antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang ada. jika persepsi seseorang terhadap pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjusment atau vulnerability akan muncul. Keadaan incongruence ini dapat menimbulkan berbagai “penyakit” psikologis atau “neurotic behavior” seperti kecemasan, ketakutan, disorganisasi dan selalu menentukan nilai absolut. Dengan demikian, tujuan konseling yang akan dicapai oleh pendekatan ini adalah melakukan revisi terhadap cara pandang konseli.
Pendekatan Rogerian bisa dikatakan tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal ini dikarenakan dalam praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentas permasalahan konseli. Hanya saja, untuk mencapai hal itu, maka dikutuhkan kualitas konselor seperti 1) Genuineness, 2) Unconditional Positive Regard, dan 3) Empathic Understanding.

Teori Gestalt
Teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls. Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Schultz, 1991). Lebih lanjut, Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi sebagai berikut, 1) manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, 2) seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya, 3) seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, 4) seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya, 5) seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, 6) seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, 7) seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini, dan 8) seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain 1) percaya pada kemampuan sendiri, 2) bertanggungjawab, 3) memiliki kematangan, dan 4) memiliki keseimbangan diri. Sebagai orang yang pernah mempelajari teori psikoanalisa (walaupun ditolaknya) Frankl menunjukkan bahwa orang-orang tidak sehat memiliki ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan oleh teori psikoanalisa sebagai deffense mechanism.
Perilaku menyimpang pada manusia seringkali tidak disadari oleh seseorang, atau bahkan dia menolak bahwa mereka memiliki masalah. Dengan demikian, tujuan konseling dalam keonseling Gestalt adalah reowning. Pengakuan (menyadari) bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki ialah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat ke belakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan (Schultz, 1991).
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli
Pengikut Gestalt selalu mempergunakan kata tanya “Apa/What” dan “Bagaimana/How”. Mereka menjauhi pertanyaan “Mengapa/Why”. Hal ini dikarenakan pertanyaan mengapa mempunyai kecenderungan untuk mengetahui alasan klien. Jika hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung konselor telah mengajak klien untuk kembali ke masa lalunya. Selain itu, pertanyaan mengapa akan mengarahkan klien untuk berbuat rasionalisasi dan mengadakan penipuan diri (self-deception) serta lari dari kenyataan yang terjadi saat ini. Lari dari kenyataan yang terjadi saat ini akanmembuat klien mandeg atau stagnasi. Beberapa teknik yang dipegunakan antara lain, 1) teknik kursi kosong, 2) pekerjaan rumah, 3) perilaku yang diarahkan, 4) humor, dan 5) konseling kelompok.
Simpulan
Perkembangan di era global menuntut konselor sekolah untuk secara terus meningkatkan kemampuan profesionalnya, sebagai jawaban terhadap dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan. Secara mendasar, konselor sekolah harus mempergunakan teori konseling dalam membantu memandirikan siswa disekolah. Penggunaan teori konseling ini pada akhirnya akan membantu konselor dalam mempertanggungjawabkan tindakan profesionalnya.

Referensi

ABKIN. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasion