Wednesday 22 June 2011

Psikologi Pendidikan

Irish (1996) membuat ringkasan penting dari literatur mengenai penelitian tentang pembelajaran dan hubungan yang spesifik dalam keluarga. Pengetahuan utama tentang keluarga menghasilkan gagasan bahwa ada kemungkinan setiap anak menggambarkan kondisi dalam keluarganya. Sebaiknya, kita mengartikan keluarga sebagai unit/kesatuan bukan pada masing-masing individunya. Tetapi, data utama tetap diperoleh dari masing-masing anggota keluarga (Bell, 1962; Haley, Ed., 1971). Proses pengenalan diri (self-definition) dimulai dari keluarga. Anak mambangun kepribadian dan mempengaruhi keluarganya dengan melukiskan diri mereka sendiri dengan terpisah tetapi tetap menjadi individu yang berinterkasi. Handel berpikir akan sangat membantu untuk mempersatukan pengertian yang mencakup individu dan keluarga. Setiap orang harus didefinisikan psisi mereka dalam proses di keluarga (Handel, 1965).

Dalam hukum-hukum sejarah yang pasti, masa depan selalu berada ditangan generasi muda, yakni pada anak-anak. Kesadaran untuk mencerdaskan anak tentulah dimiliki oleh setiap oarng tua yang bijak. Persoalan dalam pendidikan keluarga adalah bahwa pengorbanan dan kerja keras para orang tua yang mengharapkan anak-anak cerdas ini, seringkali tidak disertai dengan kesadaran dan pengetahuan (know why and know how) yang memadai tentang mencerdaskan anak itu sendiri. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya adalah tugas para guru dan intuisi pendidikan, sementara mereka sendiri asyik dengan profesinya.

Kesadaran bahwa tugas utama mencerdaskan anak adalah tugas orang tua, akan memberikan pengaruh yang positif, dalam pembentukan tanggung jawab dan pengkondisian lingkunag keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw, “Setiap bayi yang lahir memiliki fitrah tawhid, orang tualah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Orang tua yang sadar dengan tanggung jawab pendidikan dan pencerdasan ini akan lebih arif dalam “memilihkan dan menawarkan” perangkat permaianan, mengajak ke tempat rekreasi dan pembentukan lingkungan anak yang mendukung proses belajar dan pencerdasan mereka. Sebagai orang tua, kita tidak saja mampu membantu mengerjakan PR dan menyelesaikan pelajaran lainnya, tetapi juga mengarahkan anak dan menunjukkan jalan hidup yang benar (sirat al-mustaqim), sehingga memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini dan akherat kelak.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

Fungsi pendidikan dalam keluarga tak terlepas dari peranan ayah dan ibu yang memiliki beberapa turunan fungsi yang bersifat kultur (pendidikan budaya) untuk mempartahankan budaya dan adat keluarga, bersifat religi (pendidikan agama) agar kehidupan dalam keluarga berjalan dengan baik, sejahtera , tentram dan terarah. Selain itu, bersifat ekonomis (pendidikan ekonomi) sehingga tidak tercipta krisis keuangan keluarga, bersifat sosialisasi (pendidikan sosial) agar menciptakan suasana yang kondusif baik secara internal maupun eksternal, bersifat protektif (pendidikan proteksi) untuk melindungi wahana keluarga dari pengaruh apapun atau faktor apapun yang merugikan bagi keluarga dan lainya.

Beberapa hal yang memegang peranan penting keluarga sebagai fungsi pendidikan dalam membentuk pandangan hidup seseorang meliputi pendidikan berupa pembinaan akidah dan akhlak, keilmuan atau intelektual dan kreativitas yang mereka miliki serta kehidupan pribadi dan sosial.
1) Pembianaan Intelektual.
Pembinaan intelektual dalam keluarga memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitas akan mendapat derajat yang tinggi. Dengan adanya pendidikan melalui pembinaan intelektual maka kehidupan dalam keluarga dapat berjalan secara logis dan benar.
2) Pembinaan Akidah dan Akhlak
Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang anak dengan dasar-dasar keimanan, sejakmulai mengerti dan dapat memahami sesuatu, maka seorang tokoh terkemuka yaiu al-Ghazali memberikan beberapa metode pendidikan dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan yaitu dengan cara memberikan pemahaman lewat hafalan.

Sebab proses pemahaman diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi). Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Akidah adalah bentuk penyaksian dari sebuah keimanan atas keesaan Tuhan. Sedangkan Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak. Dalam keluarga pendidikan yang berupa pembinaan akidah dan akhlak dilaksanakan dengan memberi contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.

3)Pembinaan Kepribadian dan Sosial.
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatar belakanginya.
Mengingat hal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjaga emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanya kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi support kepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda dan belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak anak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.
Disamping itu, dalam pembinaan kepribadian dan sosial tersebut akan menciptakan fungsi pendidikan yang bersifat kultural, sehingga budaya dan adat yang dipegang dalam kelurga dapat tetap lestari dan terjaga.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

B. Tujuan Pendidikan Keluarga
Perbuatan mendidik diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pendidikan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989, tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Tujuan-tujuan ini bisa menyangkut kepentingan anak itu sendiri, kepentingan masyarakat dan tuntutan lapangan pekerjaan. Proses pendidikan terarah pada peningkatan, penguasaan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap, dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangn diri anak. Pengembangan diri ini dibutuhkan untuk menghadapi tugas-tugas dalam kehidupannya sebagai pribadi, sebagai siswa, karyawan, profesional, maupun sebagai warga masyarakat.

Keluarga bukan hanya menjadi tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya. Keluarga merupakan masyarakat kecil sebagai prototype masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada didalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan.

Diantara aspek-aspek kehidupan tersebut, pendidikan menepati kedudukan yang paling sentral dalam kehidupan keluarga, sebab ada suatu kecenderungan yang sangat kuat pada manusia, bahwa mereka ingin melestarikan keturunannya dan ini dapat dicapai melalui pendidikan. Cita-cita orang tua tentang anak direlisasikan melalui pendidikan.

Tujuan umum dari pendidikan keluarga adalah tercapainya perkembangan yang optimal sesuai dengan potensinya masing-masing. Sedangkan tujuan-tujuan yang khusus adalah:
1. Pemahaman yang lebih baik tentang diri, lingkungan, dan perkembangannya.
2. Mampu memilih dan menentukan arah perkembangan dirinya, mengambil keputusan yang tepat bagi diri dan lingkungannya.
3. Mampu menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun lingkungannya.
4. Memiliki produktivitas dan kesejahteraan hidup.

C. Karakteristik Pendidikan Keluarga
Di dalam pendidikan keluarga setiap anggota keluarga mempunyai peranan masing-masing. Seperti Ibu dan bapak berperan sebagai pendidik dalam keluarga walaupun tidak ada kurikulum khusus tertulis yang mereka buat atau ikuti. Bapak sebagai penanggung jawab keluarga yang mengantarkan anak untuk memasuki lingkungan sekitarnya. Sedangkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya.
1) Peran Ayah dalam Keluarga
B. Simanjuntak dan I.I. Pasanibu menyatakan bahwa peran ayah itu adalah (1) sumber kekuasaan sebagai dasar identifikasi, (2) penghubung dunia luar, (3) pelindung ancaman dunia luar dan (4) pendidik segi rasional (B. Simanjuntak, II Pasaribu, 1981, p.110). Sikun Pribadi membagi peran ayah menjadi (1) pemimpin keluarga, (2) sex poster, (3) pencari nafkah, (4) pendidik anak-anak, (5) tokoh identifikasi anak, (6) pembantu pengurus rumah tangga.

Ayah berperan sebagai jalannya rumah tangga dalam keluarga. Sebagai pemimpin keluarga orang tua wajib mempunyai pedoman hidup yang mantap, agar jalannya rumah tangga dapat berjalan dengan lancar menuju tujuan yang telah dicita-citakan. Ayah sebagai sex partner. Dapat melaksanakan peran ini dengan diliputi oleh cinta kasih yang mendalam. Seorang ayah harus mampu mencintai istrinya dan jangan selalu minta dicintai istrinya. Ayah sebagai pencari nafkah. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Sebab segala segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya untuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Ayah sebagai pendidik. Terutama menyangkut pendidikan yang bersifat rasional. Pendidikan mulai diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas, yaitu saat anak mulai mengembangkan ego dan super egonya. Kekuatan ego (aku) ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan realitas hidup yang terdiri dari segala jenis persoalan yang harus dipecahkan. Ayah sebagai tokoh atau modal identifikasi anak. Untuk identifikasi diri dalam rangka membentuk super ego (aku ideal) yang kuat. Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik. Oleh karena itu seorang ayah harus memiliki pribadi yang kuat. Pribadi ayah yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak. Aku ini akan terbentuk dengan baik jika ayah sebagai model dapat memberikan kepuasan bagi anak untuk identifikasi diri. Ayah sebagai pembantu pengurus rumah tangga. Sebagai lembaga sosial yang memerankan berbagai fungsi kehidupan manusia. seorang ayah dituntut untuk bekerja keras, dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena persoalan-persoalan kehidupan makin lama makin sulit dan kompleks.

2)Peran Ibu dalam Keluarga
Kartini Kartono (1977) menyebutkan bahwa fungsi wanita dalam keluarga sebagai berikut (1) sebagai istri dan teman hidup (2) sebagai partner seksual (3) sebagai pengatur rumah tangga (4) sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya, (5) sebagai makhluk sosial yang ingin berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial. Sikun Pribadi (1981) menyatakan bahwa peranan wanita dalam keluarga adalah (1) sebagai istri (.2) sebagai pengurus rumah tangga (3) sebagai ibu dari anak-anak, (4) sebagai teman hidup dan (5) sebagai makhluk sosial yang ingin mengadakan hubungan sosial yang intim. Kedua pendapat tersebut ternyata dapat sama, hanya penempatan urutan dan kombinasi peran yang brbeda. Nani Suwondo (1981) menyatakan bahwa wanita dalam keluarga itu mempunyai panca tugas yaitu (1) sebagai istri (2) sebagai ibu pendidik (3) sebagai ibu pengatur rumah tangga (4) sebagai tenaga kerja (5) sebagai anggota organisasi masyarakat.

Wanita sebagai ibu pendidik anak dan pembina generasi muda. Ibu sebagai pendidik anak bertanggung jawab agar anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ibu sebagai pengatur rumah tangga. Ibu pengatur rumah tangga merupakan tugas yang berat. Sebab seorang ibu harus dapat mengatur segala peraturan rumah tangga. Oleh karena itu ibu dapat dikatakan sebagai administrator dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu ibu harus dapat mengatur waktu dan tenaga sescara bijaksana.
Ibu sebagai tenaga kerja. Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan baik di desa maupun di kota tampak bahwa ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Harus ada kesepakatan yang kuat dan bijak antara ibu dan ayah.
Ibu sebagai makhluk sosial. Ibu sebagai makhluk sosial tidaklah cukup berfungsi (1) beranak, (2) bersolek, (3) memasak atau seperti predikat ibu di Barat ibu hanya mengurusi (1) anak, (2) pakaian, (3) dapur, (4) makanan saja (Hardjito Notopuro, 1984, p.45). Ibu sebagai makhluk sosial perlu diberi peran dalam masyarakat dan lembaga-lembaga sosial dan politik. Di desa-desa ibu berperan aktif dalam PKK, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, di kantor-kantor ia diberi kesempatan untuk mendampingi suami sebagai pengurus atau anggota Darma Wanita, Darma Pertiwi dan sebagainya. Ibu dengan tugas-tugas ini akan merasa puas dan banagia, jika semua tugas itu dapat dilaksanakan sebaik-baiknya
Karakteristik yang paling menonjol dalam pendidikan keluarga adalah tentang metode modelling. Secara tidak langsung maupun langsung anggota keluarga saling mengidentifikasi karena intensnya pertemuan mereka.

D. Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan bagaian integral dari sistem pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar hukum pendidikan Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum ideal, dasar hukum struktural, dan dasar hukum operasional. Dasar hukum ideal adalah pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah pancasila.

Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak-anaknya. Orang tua itu mempunyai wajib hukum untuk mendidik anak-anaknya. Keberhasilan anak dalam pendidikan merupakan keberhasilan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, pemerintah, dan masyarakat. Pendidikan dalam keluarga berlangsung karena hukum kodrat. Secara kodrati orang tua wajib mendidik anak. Oleh karena itu orang tua disebut pendidikan alami atau pendidikan kodrat. Pembagian tugas dan peran dalam keluarga membawa konsekuensi dan tanggung jawab pada masing-masing peran itu dalam keluarga.
1) Jenis-jenis Pendidikan dalam Keluarga
Jenis-jenis pendidikan yang perlu diberikan pada anak. Dalam keluarga diberikan bermacam-macam kemampuan jika diperhatikan kegiatan di dalam rumah tangga maka terjadi transformasi nilai-nilai yang beraneka ragam. Nilai ada bermacam-macam, Driyarkara S.Y. yang dikutip dalam Pengasuh Basis (1980), (1) nilai vital, (2) nilai estetik, (3) nilai kebenaran dan (4) nilai moral Anton Sukarno (1986) membagi nilai menjadi (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai rohaniah yang terdiri dari nilai kebenaran, nilai moral, nilai keindahan dan nilai religius. Nilai material menurut Driyarkara termasuk nilai vital. Nilai material berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani, Nilai vital berkaitan dengan semua barang yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kejasman. Jadi Driyarkara menggabungkan antara nilai material dan nilai vital.
Nilai-nilai yang menyebabkan seseorang dapat merasakan bahagian dengan mengalami barang-barang yang bagus dan indah disebut nilai estetika atau nilai keindahan.
- Nilai kebenaran
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita ketahui setiap orang ingin mengetahui dan mengerti tentang sesuatu hal baik yang bersumber dari dalam dirinya maupun hal-hal yang diluar dirinya. Nilai kebenaran berkaitan dengan berpikir logis manusia. Sesuatu itu bernilai kebenaran jika dipandang dari akal suatu hal itu benar. Jika seseorang dalam memecahkan suatu persoalan yang dihadapi maka ia merasa puas, sebab ia telah menemukan kebenaran terhadap sesuatu yang tadinya merupakan kesulitan tadi.
- Nilai-nilai moral
Manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. N. Driyarkara S.Y. menjelaskan bahwa untuk perkembangan manusia, manusia itu harus melaksanakan hukum-hukum yang melekat pada diri manusia sebagai manusia (Pengasuh Majalah Basis, 1980, p.110). Hukum-hukum ini disebut hukum moral atau kesusilaan. Menurut hukum moral manusia itu harus melaksanakan suatu kewajiban, harus cinta sejati kepada sesama, meluhurkan martabat dan derajat manusia. Hukum moral dan kebebasan adalah dua hal yang melekat pada diri manusia. Dengan hukum moral manusia terikat, tetapi manusia bebas untuk melaksanakan. Nilai-nilai moral atau nilai susila berkaitan dengan perilaku yang baik dan buruk.
- Nilai religius atau nilai keagamaan
Nilai religius merupakan manifestasi dari manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan dapat mengalami dan merasakan suatu keharusan di dalam dirinya untuk mengakui bahwa adanya bukan adanya sendiri, tetapi adanya karena diadakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia mengakui suatu realitas bahwa dia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu ia dapat disebut makhluk Tuhan yang harus taat dan taklim kepada-Nya. Dnyarkara SY. mengatakan bahwa nilai keagamaan merupakan fondasi dari nilai-nilai moral. Nilai moral dan nilai agama ini merupakan tuntutan dari dalam diri manusia. Dalam keluarga terjadi transformasi nilai-nilai. Seluruh nilai-nilai tersebut telah ditransformasikan ke dalam diri anak oleh orang tua. Oleh karena itu segala jenis pendidikan telah dilaksanakan dalam keluarga. Sudardjo Adiwikarta (1988, p.66) menyatakan bahwa di semua lingkungan pendidikan semua aspek mendapat tempat.
Seperti telah dijelaskan di muka, kita mengenal tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, llngkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Semua lingkungan pendidikan ini telah menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor. Dalam hal ini, pendidikan yang diberikan hanyalah dasar-dasarnya saja. Oleh karena itu Sikun Pribadi menyatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama bagi perkembangan anak. Pendidikan yang pertama merupakan pondasi bagi pendidikan selanjujtnya (Sikun Pribadi, 1981, p.67). Semua jenis pendidikan masih dikembangkan dan disempurnakan di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dan akhirnya hanya pendidikan moral dan religius saja yang bertahan di lingkungan di rumah.
Dalam keluarga juga ia mulai mempelajari cara-cara dan aturan berbuat dan berperilaku sesuai dengan norma sosial yang dianut masyarakat sekitarnya. Sosialisasi dalam berbagai segi kehidupan dipelajari dalam keluarga. Tentu hasilnya akan sangat tergantung kepada berbagai karakteristik keluarga tempat anak itu diasuh dan dibesarkan.

2)Pola Asuh Dalam Keluarga
Jika peran-peran dalam keluarga kita perhatikan di sana ada yang disebut bapak, ibu dan anak. Ketiga istilah ini dalam kehidupan sehari-hari sangat familier. Bapak dalam keluarga mempunyai makna khusus yaitu sebagai role-job, skill-job, dan aim-job. Bapak sebagai peran telah kita bicarakan di muka bahwa bapak memiliki peran ganda termasuk di dalamnya aim-job dan skill-job. Dalam kesempatan akan lebih berkaitan dengan skill-job dalam kaitan interaksi antara bapak dan anak, ibu dan anak. Pengertian ibu dan bapak dalam keluarga akan nampak peran ibu dan bapak sebagai orang yang memiliki keterampilan untuk mendidik, mengajar dan melatih anak. Keterampilan bapak dan ibu dalam menyampaikan nilai-nilai kepada anak-anaknya.
Keterampilan dalam menyampikan nilai-nilai kepada anak ini dapat berpusat pada dua kutub yang dipengaruhi oleh gaya orang tua. Sudardjo Adiwikarta (1988) membedakan dua pola yang berpusat pada anak (child centered) dan pola yang berpusat pada orang tua (parent centered). Singgih D. Gunarsa (1983) berdasarkan gaya orang tua membedakan tiga cara yaitu (1) cara otoriter, (2) cara bebas, (3) cara demokrasi, (Singgih D Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, 1983, p. 82-84).
- Pola asuh otoriter
Pola asuh yang otoriter akan terjadi komunikasi satu dimensi atau satu arah. Orang tua menentukan aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain.
- Pola asuh bebas
Subjek asuh bebas, berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subiek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur dan mungkin memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknva, hubungan tidak akrab dan anak harus tahu sendiri tugas apa yang harus dikerjakan.
Dua pola ini memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Pola asuh otoriter memang memungkinkan terlaksananya proses transformasi nilai dapat berjalan lancar. Akan tetapi anak mengerjakan tugas dengan rasa tertekan dan takut. Akibatnya jika orang tua tidak ada mereka akan bertindak yang lain. Dia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Pola asuh bebas memang memandang anak sebagai subyek, anak bebas menentukan pilihannya sendiri. Akan tetápi anak justru menjadi berbuat semau-maunya; ia berbuat dengan mempergunakan ukuran diri sendiri. Pada hal anak berada dalam dunia anak dan dia harus masuk pada dunia nilai dan dunia anak. Oleh karena itu anak akan kebingungan ibarat anak ayam yang ditinggalkan induknya. Akhirnya anak akan lari ke sana-kemari tanpa arah.
- Pola asuh domokratis
Pola asuh ini berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak sebagal makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan diri. Anak sebagai pribadi yang masih perlu mempribadikan dirinya, dan terbuka untuk dipribadikan. Proses pempribadian anak akan berjalan dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dan tersurat dalam proses itu.

3) Fungsi Pendidikan Keluarga dalam Islam
Fungsi pendidikan bagi keluarga meliputi fungsi melahirkan anak dan menyusukannya, fungsi pengeluaran dan memberi sumbangan perekonomian untuk memenuhi keperluan anggota-anggota keluarga, fungsi pelayanan terhadap anggota-anggota keluarga, fungsi sosial, agama, ekonomi, politik, dan dimana anggota-anggota keluarga tidak membatasi aktifitasnya dalam rumah, tetapi keseluruhan masyarakat dimana keluarga itu berada.
Adapun fungsi-fungsi yang akan kekal adalah fungsi melahirkan anak (menyusui, pemeliharaan anak, pemakanan jasmani dan psikologikal), fungsi pendidikan (proses sosialisasi, nasihat ,bimbingan, pengembangan bakat, dan lain-lain). fungsi pendidikan yang akan kekal menjadi tanggung jawab pokok bagi keluarga. Penting atau tidak akan berubah karena berubahnya konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran pendidikan, juga tidak akan berubah karena bertambahnya jumlah institusi-institusi khas untuk pendidikan dan lembaga-lembaga. Walaupun demikian tingginya tingkat perkembangan dan perubahan yang berlaku, keluarga tetap memelihara fungsi pendidikannya dan menganggap sebagian tugasnya sebagai fungsi umum yang menyiapkan sifat cinta-mencintai dan keserasian diantara anggota-anggotanya.

E. Problematika Pendidikan Keluarga
Umumnya konsep atau paradigma disandarkan atas pandangan-pandangan filosofis tentang manusia. Hal ini sebagai sesuatu yang wajar, mengingat pendidikan memilki perhatian utama terhadap manusia. Tanpa adanya asumsi-asumsi atau pandangan filosofis tentang manusia, sebuah konsep ynag berfungsi untuk perekayasaan atau pemberdayaan potensi manusiawi, tidak dapat dibangun. Begitu juga halnya jika kita ingin mendidik dan mencerdaskan anak.

Apa yang sering terjadi adalah orang tua yang ambisius dan terobsesi pada sesuatu, kemudian dengan serta merta ingin menjadikan anaknya tersebut seperti yang dikehendakinya atau minimal sesukses dirinya. Sebaliknya juga bisa terjadi, karena orang tua gagal atau terpuruk dalam suatu bidang atau jenis kegiatan, kemudian dia melarang anaknya untuk memasuki suatu bidang.

Kecenderungan orang tua yang demikian ini sesungguhnya mengandung kesalahan logis yang cukup serius. Pola seperti ini menurunt Jalaluddin Rachmat merupakan kerancuan berpikir dan mitos. Pemaksaan terhadap hal ini , apalagi dilakukan sejak dini, biasanya akan berakibat buruk bagi masa depan anak-anaknya. Sebuah obsesi atau kehidupan yang sulit dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagi anak-anaknya ketika memasuki usia dewasa bukan sebagai beban psikologis.
Untuk memperbaiki hal-hal tersebut kita perlu melihat secara objektif. Pertama perlu sekali mempertimbangkan perubahan-perubahan zaman. Kedua, ada potensi-potensi atau kelemahan yang berbeda pada setiap orang, termasuk antara anak dan orang tuanya. Ketiga, jika ada proses pemaksaan atau pembebanan seperti itu, sesungguhnya telah menutup peluang terhadap berbagai kemungkinan potensial dan kemampuan anak dikemudian hari.

Kesadaran dini untuk mengetahui siapa sesungguhnya anak adalah persoalan besar pertama yang harus dihadapi orang tua, sebelum berbagai persoalan menyangkut kewajiban dan hak-haknya terhadap anak. Pengetahuan tentang anaknya membantu orang tua berkomunikasi, bersikap dan tentu berupaya mencerdaskan anaknya sebaik mungkin.

No comments:

Post a Comment